Kehidupan perempuan Pakistan sungguh merupakan pengalaman baru baginya. Lam Li yang terbiasa tampil tomboi, dengan kaus lengan pendek, celana, rompi, dan bandana, sering dikira orang sebagai laki-laki. Pernah suatu kali ia pernah dipelototi ibu-ibu penumpang di bus kota karena dikira adalah laki-laki kurang ajar yang nekad duduk di bangku khusus perempuan.
“Sebenarnya,” katanya bijak, “semua ini untuk melindungi perempuan.”
Di bus, tempat khusus perempuan adalah tempat aman dari jelalatan mata kaum lelaki. Di restoran, selalu ada ruang khusus pengunjung perempuan, agar tak terlihat oleh pria lain. Perempuan tak perlu mengantre. Perempuan selalu ditemani dan dikawal kalau keluar rumah. Sungguh perlakuan yang luar biasa. Tetapi kembali lagi, dari mana datangnya kebutuhan untuk selalu terus dilindungi? Ketakutan? Tradisi? Atau justru karena bahayanya laki-laki yang masih menggoda kaum perempuan yang sudah bercadar sekali pun?
Saya teringat seorang penumpang bus di Gilgit yang pernah bekerja di Saudi Arabia dengan penuh rasa iba berkomentar bahwa Indonesia adalah negara miskin.
“Lihat, sampai perempuan pun terpaksa bekerja jauh-jauh ke Arab!” Juga ibu-ibu teman Lam Li yang dengan penuh rasa kasihan melihat gambar para pekerja wanita di Malaysia,
“Aduh...lihat perempuan-perempuan ini....kasihan betul... harus bekerja keras... Mana suami mereka?”
Apa yang cocok bagi kita, belum tentu tepat bagi mereka. Bagi kaum wanita ini, tak ada tempat yang lebih nyaman dari istana di sudut rumah, lebih aman dengan perlindungan suami dan keluarga.
(Bersambung)
_______________
Ayo ngobrol langsung dengan Agustinus Wibowo di Kompas Forum. Buruan registrasi!