Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pulau Penyengat (sequel)

Kompas.com - 10/08/2009, 11:22 WIB

Di pulau ini kami mengunjungi Masjid Sultan yang dibangun pada tahun 1818, Istana Kantor, makam Raja Hamidah alias Engku Putri, serta makam Raja Ali Haji, pujangga kerajaan yang mencipta Gurindam XII. Pulau Penyengat di masa lalu adalah pusat Kerajaan Riau-Lingga.

Kunjungan ke Pulau Penyengat diakhiri dengan makan siang di Balai Rakyat. Bu Nina sengaja mengatur menu makan siang itu untuk menampilkan hidangan-hidangan Melayu yang khas.

Appetizer-nya adalah laksa riau yang sangat khas. Di Indonesia, kita mengenal sangat banyak jenis laksa. Di Bogor saja terdapat dua jenis laksa yang berbeda satu sama lain. Untuk laksa riau, mi-nya agak tebal dan dibuat dari tepung sagu. Warnanya abu-abu transparan. Sekalipun direbus sampai matang, tetapi tingkat kekenyalannya masih al dente. Mi sagu ini ditempatkan di atas selembar daun mangkokan, karena itu porsinya memang imut sekali – cocok untuk appetizer maupun light breakfast. Mi sagu kemudian diguyur dengan kuah  kental dengan aroma maupun rasa ikan dan trasi yang nendang banget. Kuahnya dibuat dari daging ikan tamban (semacam ikan kembung) yang diuleg halus dengan jahe, bumbu kari, cabe, ketumbar, bawang merah, trasi, dan santan. Penggunaan ikan dalam kuah laksa riau ini membuatnya agak mirip dengan asam laksa dari Pulau Pinang, Malaysia. Agaknya, penggunaan ikan untuk kuah laksa adalah ciri khas masyarakat kepulauan.

Untuk menghabiskan nasi panas yang terhidang, disajikan empat lauk-pauk. Tentu saja harus ada ikan asam pedas. Berbeda dengan masakan asam pedas di Pekanbaru atau Batam yang berkuah encer, di Kepulauan Riau asam pedasnya lebih kental dengan bumbu yang intens. Tidak heran bila orang Riau juga sering menyebut masakan ini sebagai ikan gulai. Ikan yang banyak digunakan untuk masakan asam pedas adalah ikan bulat (ikan kuwe = trevally).

Pacri nenas juga merupakan sajian khas Melayu. Irisan nenas dimasak dengan bumbu kari, gula merah, cengkeh, kapulaga, kayu manis, dan sedikit santan. Asam-segar-gurih yang sangat balanced dan cocok disantap mendampingi masakan ikan.

Dua lauk-pauk lain yang disajikan pada santap siang itu juga sangat tradisional Riau. Ada acar berempah yang sekilas justru tidak tampak seperti acar yang biasa kita lihat. Sajian ini tampak agak kering, sedangkan acar biasanya basah. Acar berempah ini dibuat dari irisan timun dan wortel yang dimasak cepat dengan korma, bumbu kari, cuka, bawang merah, bawang putih dan jahe. Sekalipun setengah kering, tetapi rasanya sungguh sangat segar. Di masa lalu, jemaah haji dari Riau tidak pernah ketinggalan membawa acar berempah sebagai bekal.

Hidangan lain yang patut saya catat di sini adalah daging masak kecap. Lagi-lagi sajian ini dimasak dengan bumbu kari, tetapi dengan kecap manis yang cukup banyak. Ini unik mengingat kecap manis bukanlah bumbu yang umum dipakai dalam masakan Melayu maupun Minang. Hasilnya mirip daging lapis di Jawa.

Karena Riau adalah negeri pantun, maka saya pun merasa berkewajiban menutup tulisan ini dengan sebait pantun

Kalau jauh kita teringat
Kalau dekat kita berdansa
Kalau datang ke Pulau Penyengat
Jangan lewatkan makan laksa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com