Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Waktu Serasa Berhenti di Calabai

Kompas.com - 17/08/2009, 11:21 WIB

KOMPAS.com - Kawasan lereng Gunung Tambora di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, punya sejumlah syarat menjadi tanah harapan. Lahan yang subur menjadikan kawasan itu unggul di bidang pertanian dan perkebunan, sementara ladang-ladang yang luas menjadi tempat ideal untuk peternakan sapi. Panorama yang indah -dari Gunung Tambora, gugusan pulau, pantai hingga pesona alam bawah lautnya- menjadikannya pantas menjadi tujuan wisata ternama.

Namun, semua itu seakan terhempas dan terampas karena minimnya infrastruktur jalan yang memadai. Waktu benar-benar serasa berhenti ketika kita berada di desa-desa di sekitar gunung itu. Mulai dari Calabai hingga Tambora. Mulai dari Nangamiro hingga Pekat.

Kerongkongan dan mata kami sudah sama-sama kering berharap perbaikan atau pembangunan, demikian warga setempat selalu bergumam ketika orang lain mempertanyakan buruknya kondisi infrastruktur jalan di sekitar Gunung Tambora.

Pengalaman diguncang gempa berkekuatan 6,6 skala Richter pertengahan 2008 lalu tidak juga membuka mata para pejabat pusat maupun daerah. Waktu itu saja, rombongan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan Gubernur NTB Lalu Srinata merasakan dahsyatnya jalur ibukota Kabupaten Dompu di Dompu menuju Kecamatan Pekat sepanjang sekitar 120 kilometer, dua hari setelah gempa terjadi.

Untungnya, guncangan gempa tempo hari itu tidak terlalu parah mengakibatkan kerusakan, sehingga bantuan makanan dan obat-obatan tidak terlalu mendesak. Lain ceritanya bila yang terjadi sebaliknya. Katakan saja, kerusakannya parah dan kemungkinan korban luka atau bahkan tewas banyak, tentu persoalan rusaknya infrastruktur jalan itu akan semakin menyengsarakan.

Sekitar 70 kilometer dari jalan menuju Pekat dari Dompu berupa jalan rusak, dengan aspal mengelupas parah, bahkan di banyak lokasi tanpa aspal lagi. Jarak yang seharusnya bisa ditempuh dalam tempo 3 jam pun harus ditempuh 5-6 jam. Itu pun dengan sopir dan atau kendaraan yang benar-benar siap menghadapi kondisi jalan yang lebih mirip sungai kering itu.

Terhambatnya akses jalan di lereng Gunung Tambora menuju Dompu sebagai pusat kota kabupaten telah lama dikeluhkan warga setempat. Hal yang paling mencolok mereka rasakan selain lebih lamanya waktu tempuh adalah bertambahnya beban biaya.

Untuk mencarter kendaraan roda empat dari Dompu, contohnya, mereka harus mengeluarkan biaya minimal Rp 1,5 juta. Sementara untuk naik kendaraan umum berupa bus, tiap kepala harus membayar Rp 35.000.

Itupun untuk angkutan yang hanya sekali sehari datang dan perginya, dan kalau sedang sial, harus siap-siap naik di atap bus bersama setumpuk barang-barang penumpang lain. Jelas berisiko!

Camat Pekat, Abdurrahman Abidin, mengungkapkan pihaknya sudah melaporkan kondisi jalur Dompu-Gunung Tambora sejak sekitar lima tahun terakhir, baik ke Pemerintah Provinsi NTB maupun pemerintah pusat. Namun, tidak pernah ada tanggapan berarti, selain janji-janji.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com