Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mamukur dan Megibung di Bali

Kompas.com - 28/08/2009, 11:00 WIB

Konon, menurut sejarah, tradisi megibung justru datang dari pulau seberang, yaitu Lombok. Ketika sepasukan prajurit dibawa Raja Karangasem menyeberang ke Lombok, mereka melihat tradisi makan bersama dilakukan masyarakat setempat yang beragama Islam. Raja menyukai tradisi itu, dan kemudian mengajak para prajuritnya makan bersama, yang dianggapnya sebagai salah satu cara demokratis dan menjembatani kesenjangan. Raja ikut duduk lesehan, dan makan bersama prajurit. Para prajurit pun termotivasi oleh sikap kamaraderi itu. Tradisi egalitarian yang semula agak militeristik ini kemudian dibawa pulang dan diadaptasi menjadi budaya rakyat di Karangasem.

Mungkin karena pada awalnya berasal dari tradisi militer, sampai sekarang tampak adanya “disiplin” dalam penyelenggaraan megibung. Aturan megibung cukup diketahui oleh warga Karangasem sebagai nilai-nilai turun-temurun. Bersendawa, bersin, meludah, (maaf, juga kentut), terlarang selama megibung. Tangan harus dicuci bersih sebelum menghadapi makanan, dilarang bicara dan tertawa keras-keras, serta dilarang menjatuhkan remah makanan dari suapan – apalagi dari mulut.

Nasi disajikan di atas dulang atau nampan. Lauk-pauk disajikan di dulang yang lain. Seorang yang ditunjuk akan menggunakan tangannya yang bersih untuk membagi nasi ke dalam gundukan-gundukan kecil sesuai dengan jumlah orang yang duduk lesehan mengeliling dulang. Demikian pula lauk-pauk dibagi secara merata.

Lauk-pauk untuk megibung cukup standar. Untuk ritual resmi, misalnya, harus ada lawar pancawarna, yaitu semacam urap yang terdiri atas lima macam daun, antara lain daun belimbing. Satenya harus empat macam: ikan, kerbau, babi, ayam. Di masa lalu, untuk berbagai upacara tertentu, wajib ada sate penyu. Sekarang, demi pelestarian, diperlukan izin sangat khusus untuk menghadirkan sate penyu.

Di dekat Tirtagangga, sekitar lima tahun yang silam, saya pernah dipesona oleh masakan bebek menyatnyat yang tersaji dalam sebuah gibungan.  Dimasak dengan bumbu mejangkep atau base genep (bumbu lengkap), bebek menyatnyat ini – menurut saya – lebih lezat daripada bebek betutu. Ah, sajian ini sering membuat saya termimpi-mimpi.

Lauk untuk megibung biasanya juga melibatkan berbagai jenis tum (masakan yang dikukus dalam daun pisang) dan pesan (pepes bakar). Tum favorit saya di daerah ini adalah lindung (belut), dan telengis (ampas minyak kelapa, blondo). Ada pula tum ayam yang kemudian digoreng. Sungguh, sentuhan yang istimewa.

Jualan kuliner baru

Pada upacara mamukur di Pesangkan kemarin, ada satu jenis hidangan yang sebelumnya tidak pernah saya cicipi, yaitu daging kerbau bersama tulangnya, dimasak dalam ruas bambu. Cara memasak seperti ini cukup umum di beberapa daerah Nusantara, antara lain populer di Sumatra Barat, Minahasa, dan Toraja. Tentu saja tulangnya keras dan tidak enak. He he he! Tetapi, dagingnya yang langsung lepas – dengan bumbu mejangkep yang merasuk – merupakan ciri kelezatan cara masak slow roasting seperti itu. Ibu Pia Alisyahbana yang ketika itu bersama saya di satu sekah (enam orang yang mengelilingi satu dulang), tampak sangat menikmati pengalaman megibung dan lauk-pauk unik itu.

Terus terang, saya selalu bermimpi bahwa di masa yang tidak terlalu lama ini, tradisi megibung akan menjadi “jualan kuliner” baru yang trendy bagi wisatawan yang berkunjung ke Bali. Mari, kita populerkan. Siapa tahu, dengan megibung kita dapat menghidupkan kembali solidaritas sosial, keramahtamahan, dan kesopansantunan bangsa kita ini.

Pada akhir tahun 2006, di Taman Sukasada Ujung, Karangasem, pernah diselenggarakan acara megibung massal yang melibatkan sekitar 20 ribu orang. Agaknya, peristiwa itu mendapat inspirasi dari Kenduri Nasional di Silang Monas pada tahun 1995, ketika kita merayakan Indonesia Emas. Alangkah indahnya bila puncak-puncak hari nasional kita ditandai dengan kenduri dan megibung seperti itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com