Mengikuti logika dunia yang datar, kegagalan panen akan berubah menjadi hantu menakutkan apabila sekuen waktunya bersamaan dengan kelangkaan produksi pangan dunia. Bukan saja harga bahan dan produk pangan menjadi mahal, tetapi suhu politik domestik bisa berubah memanas seketika.
Sementara itu, dalam hal energi, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa cadangan minyak yang kita miliki semakin menipis, jika tidak boleh disebut habis. Tekanan dunia yang datar, bukan saja memaksa pemerintah mengambil kebijakan untuk mengikuti harga minyak dunia, tetapi juga memaksa para pelaku bisnis energi berusaha untuk menemukan sumur baru dan sumber energi alternatif.
Pergumulan untuk menemukan sumber-sumber energi itu dan mengembangkan energi yang terbarukan kini sedang berlangsung.
Sama seperti pilar pangan dan energi, pilar pendidikan juga masih lemah. Padahal, ia adalah titik keseimbangan dalam model segitiga pertahanan menghadapi dunia yang datar. Jika China sudah mempunyai lebih dari 30.000 doktor dalam bidang sains dan teknologi, Indonesia diduga baru mempunyai sepersepuluhnya.
Karena itu, lompatan yang luar biasa perlu dilakukan untuk mengejar ketertinggalan di ranah pendidikan, khususnya menyangkut pengembangan nanoteknologi, bioteknologi, teknologi informasi, dan neurosains.
Integrasi keempat bidang tersebut dalam pilar pangan, pendidikan, dan energi akan memperkokoh soliditas segitiga pertahanan dalam menghadapi dunia yang panas, datar, dan kumuh. Tanpa penguatan tersebut, pertempuran yang kita lakukan di dunia yang datar adalah semu. Kita sudah kalau dari semula.
Dari Merauke, terlihat jelas bahwa di antara lintasan dunia yang datar, keadaan Indonesia sendiri justru masih diwarnai lembah-lembah curam dan bukit-bukit berbatu.
Ilustrasi itu merupakan suatu analogi bahwa selain segitiga pertahanan (pangan, pendidikan, energi) yang belum kuat, banyak praktik bisnis di negeri ini masih jauh dari efisiensi dan rasionalitas. Segmentasi pasar domestik masih begitu memprihatinkan.