Persis seperti gambaran sang mahasiswa, proyek yang mereka namakan obyek wisata mangrove itu menempatkan bekas Istana Kota Lama sebagai bagian dari tapak kawasan pengembangan.
Untuk itu, kata Abdul Kadir Ibrahim, tapak kawasan situs Istana Kota Lama yang kini hanya berupa ”sisa puing” yang sudah rebah ke tanah—karena itu masyarakat menyebutnya Istana Kota Rebah—tersebut akan ditata. Bahkan, ada rencana untuk merekonstruksi bekas istana yang menempati areal seluas sekitar 20 hektar tersebut.
Bisa dibayangkan bila kelak kawasan tapak awal Kesultanan Melayu Riau-Johor-Pahang-Lingga di Hulu Riau (1673-1787) itu ditata menjadi obyek wisata sejarah, lalu dipadukan dengan keberadaan hutan bakau yang terhampar di sepanjang Sungai Carang hingga ke muara.
Dengan meniti pelantar yang dibangun khusus di sela-sela hutan bakau, pengunjung bisa menikmati ekosistem pantai, sungai, dan pesisir, sekaligus membayangkan masa kegemilangan Kerajaan Melayu di masa lampau.
”Sungai dan bakau di Kota Tanjung Pinang yang menjadi sumber penghidupan para nelayan akan sangat menarik untuk dilihat dengan menaiki pompong. Dalam konteks ini, hutan bakau bisa memberi harapan bagi kepariwisataan sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat nelayan karena ekosistem laut sebagai sumber mata pencaharian mereka bisa terjaga,” kata Abdul Kadir Ibrahim.
Ibarat sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, itulah niatan yang ingin diraih dari gagasan Pemerintah Kota Tanjung Pinang dalam mengembangkan hutan bakau dan menata sejumlah situs sejarah yang ada di sekitarnya sebagai obyek wisata baru.
Selain tetap menjadikan bakau sebagai kawasan hijau kota dan mencegah intrusi air laut ke daratan, hal itu juga menjaga biota laut sebagai sumber penghidupan nelayan dari kehancuran, juga untuk menempatkan peninggalan Kerajaan Melayu Riau dalam bingkai sejarah masa silam yang gemilang.
”Pasti menarik. Apalagi jenis hutan bakau yang tumbuh di sini sangat beragam, termasuk keberadaan pohon terumtum yang sangat disukai kunang-kunang. Bayangkan kalau pada malam hari ada ribuan kunang-kunang hinggap di pohon khas ini, yang tidak ditemui di obyek wisata hutan bakau, seperti di Bali,” ujarnya.
Bagaimanapun, gagasan sudah digulirkan. Langkah pelaksanaan pun mulai dilakukan. Namun, terlepas dari itu semua, niat baik tidak selalu berujung kebaikan bila hanya untuk melaksanakan keinginan sepihak.
”Dalam kasus pemanfaatan situs sejarah sebagai bagian dari obyek wisata, penataan dan pengembangannya tidak boleh meninggalkan aspek pelestarian situs sebagai benda cagar budaya,” kata Fitra Arda, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Batusangkar, yang wilayah kerjanya termasuk daerah ini. (eln/ken)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.