Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sepuluh Tahun Lalu...

Kompas.com - 07/01/2010, 17:05 WIB

Tak terasa 10 tahun sudah saya menjadi penduduk Perancis. Masa izin tinggal saya yang berlaku hingga tahun 2010 ini harus diperbaharui. Siapa sangka, saya yang dulu berpikir hanya akan mampir tak lebih dari empat tahun di negara ini malah harus memperpanjang masa tinggal setelah tahun kesepuluh, entah hingga kapan. Perancis yang dulu hanya tempat singgah bagi saya, kini teradopsi sebagai negara kedua saya

Sepuluh tahun yang lalu, kota Montpellier menyambut kedatangan saya dan keluarga di musim dingin. Kehangatan matahari menyapa sesekali. Pada tahun 2000, kami bertiga mendarat di kota ini tanpa tahu kemana arah tujuan hidup.

Saya datang dengan visa kunjungan tiga bulan. Anak kami Adam saat itu secara otomatis mengikuti warga negara ayahnya, Perancis. Saya, sepuluh tahun yang lalu tak bisa sedikitpun berkomunikasi dalam bahasa Perancis. Suami baru saja habis masa kontrak kerjanya di Bandung. Kami bertiga ditampung dalam rumah mertua saya.

Sepuluh tahun yang lalu kami datang di kota Montpellier saat Adam masih berusia 2,5 bulan. Ia terus menangis, mungkin karena perubahan cuaca yang begitu dratis. Saya sendiri ikut menangis, karena bingung mengalami perubahan yang terlalu cepat.

Di negeri ibunya, Kang Dadang pulang ke kampung halaman dan tidak memiliki pekerjaan. Saya sendiri memutuskan tali pekerjaan saya sebagai jurnalis di sebuah televisi swasta. Bila ada kata untuk menggambarkan situasi kami saat itu tentunya sangat menyedihkan. Jika ada lukisan yang menggambarkan kondisi kehidupan kami waktu itu pastilah sangat menyeramkan.

Tak heran bila saya menangis karena ketakutan, cemas memikirkan masa depan yang tak menentu. Saya membayangkan hidup kami yang akan jatuh miskin dan sengsara. Di Indonesia menjadi pengangguran dengan tanggungan anak adalah beban hidup yang tak berkesudahan. Namun, Perancis merupakan negara maju dengan strata sosial yang cukup baik. Tak dibiarkannya warga negaranya mati kelaparan.

Selama suami masih mencari pekerjaan, selama itu pula kami mendapat tunjangan sosial. Cukuplah untuk kebutuhan sehari-hari, pas-pasan memang. Tapi setidaknya kami masih bisa makan tiga kali sehari dan membeli kebutuhan hidup lainnya.

Tunjangan yang kami dapatkan selama beberapa bulan itu, sangat membantu kami dalam menjalankan roda kehidupan. Bantuan yang didapat dari pemerintah bisa berbentuk macam-macam, cara perhitungannyapun berdasarkan situasi keluarga atau pekerjaan terakhir yang dimiliki seseorang.

Tak hanya bantuan sosial saja yang kami dapatkan saat itu, tunjangan kesehatan pun kami dapatkan dari pemerintah, yaitu 100 persen penggantian biaya kesehatan. Fasilitas ini merupakan kemewahan bagi saya.

Mendapatkan tunjungan hidup dan tunjangan kesehatan 100 persen dari pemerintah karena pengangguran atau gaji sangat minimal, tentu saja merupakan hal yang sangat menggiurkan. Membuat banyak warga negara lainnya, khususnya dari negara miskin, tergiur mengadu nasib di negara ini. Memperbaiki taraf kehidupan menjadi alasan kuat bagi banyak orang untuk masuk ke Perancis.

Izin tinggal

Saat saya datang ke Perancis, hal utama yang harus dilakukan adalah memperoleh izin tinggal di sini. Saya dan suami, pertama kali datang ke prefecture (kantor pemerintahaan daerah) untuk meminta izin tinggal tanpa tahu tak semudah itu mendapatkan formulirnya.

Kami datang pukul 10 pagi dan ditolak oleh petugas.

“Anda tak bisa mendapatkan formulir izin tinggal di sini (meja penerangan), harus antre dulu pagi-pagi untuk mendapatkan nomor karcis,”  kata si petugas.

“Antre pagi-pagi itu jam berapa ya? Dan di loket mana?” tanya suami saya.

“Loket?”, sahut si petugas,  “Tak ada loket yang membagikan karcis. Sebelum dapat formulir Anda harus mendapatkan nomor karcis terlebih dahulu yang dibagikan pagi hari di luar sana.” Ia menunjuk pintu gerbang masuk.

“Lho, kok di luar gerbang pintu masuk? Kan tidak ada loket? Siapa yang akan membagikan?” tanya suami saya bingung.

“Memang tak ada loket. Dari tadi saya sudah bilang, tak ada loket untuk mendapatkan karcis. Yang ada nanti petugas keamanan yang akan membagikan nomor karcis kepada para pemohon izin tinggal,” jelasnya.

Selama perbincangan itu berlangsung, suami saya menerangkan dalam bahasa Indonesia kepada saya karena saya memang tak bisa berbahasa Perancis sedikitpun. Saya kaget sekali mendengar penjelasannya. Lebih terkejut lagi ketika suami saya bilang karcis akan di bagikan sekitar pukul 7 hingga 8 pagi. Terbayang saja, harus antre di tengah udara dingin yang menusuk, karena antrenya di udara terbuka.

Esok harinya saya dan suami kembali ke prefecture. Kami tiba pukul 07.15. Alangkah kagetnya kami berdua, karena antrean sudah sangat panjang.

“Walah, udah kayak lagi antre tiket kereta mudik aja ya? Panjang bener,” canda saya menghibur diri. Udara dingin mengigit kuping.

“Ah, ternyata masih aja birokasi Perancis kaya gini. Payah deh!” keluh Kang Dadang.

Untung kami tak membawa Adam. Dia masih bayi merah saat itu. Di pagi yang dingin itu keberuntungan sedang tidak berpihak pada kami.

“Seratus karcis sudah habis dibagikan. Para pemohon yang tak mendapatkan karcis silakan meninggalkan tempat,” teriak petugas pembagi karcis.

Antrean masih panjang tapi karcis sudah habis! Ternyata per hari hanya 100 karcis yang dibagikan. Tanpa karcis itu kami tak bisa mendapatkan formulir permohonan izin tinggal. Duh, hanya formulir saja sulitnya minta ampun.

Kang Dadang kecewa berat. Ia terus mengomel sepanjang perjalanan pulang. Saya pasrah, mau bilang apa? Saya tegaskan dalam hati, bukan saatnya mengeluh.

Keesokan harinya, Kang Dadang pergi pukul 06.00. Saya masih tinggal di rumah karena harus menyusui Adam dan mengurus aneka keperluan bayi. Walaupun ada ibu mertua yang dengan senang hati membantu mengurus cucu satu-satunya itu, tetap saja saya merasa lebih tenang jika meninggalkan buah hati dalam keadaan kenyang dan bersih.

Alhamdulillah, Kang Dadang berhasil mendapat karcis. Berhubung masih ada waktu sebelum pintu prefecture dibuka, ia memutuskan pulang untuk menjemput saya. Ia khawatir istrinya yang tak bisa berbahasa Perancis nyasar naik bis menuju kantor prefecture.

Kami menunggu lima jam di sana demi sebuah formulir. Lima jam yang sangat menyiksa. Kami tidak bisa meninggalkan tempat karena takut nomor kami terpanggil. Setiap pemohon tak bisa ditentukan cepat lambatnya berdiskusi dengan petugas.

Saat tiba giliran kami, si petugas mengajukan barbagai pertanyaan. Kang Dadang dan si petugas tampak hangat berdiskusi. Dan, saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Saya hanya diam. Pasrah. Tersiksa sekali menjadi cacat wicara hanya karena tak menguasai bahasa setempat.

Beruntung

Setelah proses wawancara itu kami masih harus bolak balik ke kantor prefecture untuk mengurus berbagai syarat administratif.  Syukurlah, permohonan saya berjalan lancar. Bahkan, saya mendapat izin tinggal selama 10 tahun. Izin tinggal selama itu tidak diberikan sembarangan. Kami berhasil meyakinkan pemerintah Perancis bahwa pernikahan kami bukan akal-akalan. Kasus kawin kontrak banyak terjadi di sini. Pernihakan dilakukan demi mendapatkan izin tinggal. 

Dengan izin tinggal seseorang resmi menjadi penduduk Perancis. Yang bersangkutan berhak mendapat fasilitas dari pemerintahan. Mulai dari tunjangan sosial, kesehatan, tempat tinggal dan juga berhak untuk bekerja secara legal.  Tak heran bila pemerintah Perancis begitu waspada dalam memberikan cap resminya kepada para pemohon.

Beberapa teman saya yang dipersunting oleh pria Perancis menyatakan, saya adalah pemohon yang sangat beruntung! Dua teman saya yang sudah lebih dulu tinggal di Perancis tidak langsung mendapatkan izin tinggal selama 10 tahun seperti saya. Mereka mendapat izin tinggal bertahap, beberapa bulan dulu, lalu setahun, dan setelah pemerintah yakin dengan pernikahan mereka izin tinggal 10 tahun baru diberikan. Tidak sedikit pula yang permohonannya ditolak.

Belakangan ini, pemerintah Perancis memberlakukan tes DNA bagi pemohon yang datang dari negera tertentu. Mereka pun rajin melakukan inspeksi mendadak ke rumah-rumah pemohon untuk memastikan bahwa mereka tinggal di alamat yang mereka sebutkan dalam formulir.

Selang empat bulan menetap di Montpellier kartu izin tinggal saya keluar. Di kartu itu tertera juga jika saya berhak bekerja secara legal. Di sini kartu izin tinggal itu disebut carte de sejour. Saya lebih senang menyebutnya KTP. Kartu ini berlaku juga sebagai identitas saya ketika berpergian ke uni eropa.

Izin tingga selesai, selesai pula satu tahapan sulit bagi saya. Ternyata di Perancis banyak sekali para pendatang yang bermukim tanpa izin tinggal resmi. Macam-macam alasannya. Ada yang izin tinggalnya ditolak; ada juga yang memang masuk secara ilegal. Kalaupun mendapatkan izin tinggal, mereka tidak mendapat carte de sejour seperti saya. Biasanya mereka hanya mendapat izin tinggal beberapa bulan saja dan harus selalu diperpanjang. Mereka inilah yang seringnya bekerja secara ilegal, dalam arti gaji mereka tak tercatat. Kontrak kerja dilakukan secara lisan, hanya diketahui majikan dan pegawai.

Selanjutnya, setelah “KTP” di tangan, saya harus menghadapi sejumlan pandangan sinis tentang keberadaan saya di negeri ini. Kenapa kamu tinggal di Perancis? Memperbaiki taraf hidup ya? Kata-kata itu kerap mampir di telinga saya karena saya datang dari Indonesia yang menurut mereka adalah negara miskin.

Sedih memang diakui sebagai bangsa yang hidup serba kekurangan, padahal di Perancis lah justru saya mengalami kerasnya kehidupan yang tak pernah saya alami sebelumnya di tanah air. Sampai berbusa saya menerangkan tentang Indonesia kepada mereka, tetap saja gambaran yang terpatri di benak mereka tentang Indonesia, berdasarkan informasi yang tayang di media masa, sulit berubah. Sayangnya, pandangan mereka tentang Indonesia tidak sepenuhnya salah.

Hidup kami terus bergulir. Pada bulan keenam Kang Dadang akhirnya mendapat pekerjaan. Kami sungguh memulai lembaran hidup baru. Segera, saya mendaftarkan diri di universitas negeri Montpellier, mempelajari bahasa Perancis, menguasainya, dan membebaskan diri dari kecacatan wicara ini.....


Bersambung

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com