Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keliling Amsterdam, Teringat Bandung...

Kompas.com - 01/02/2010, 15:12 WIB

KOMPAS.com - Menyusuri kota Amsterdam, Belanda, sama halnya menziarahi tanah kelahiran bangsa yang pernah menduduki dan membangun infrastruktur jalan dan bangunan di Indonesia pada masa lalu. Di Indonesia, karya-karya arsitek Belanda terkenal berkualitas baik dan awet.

Lihat saja jalan dan jembatan buatan Belanda. Masih bisa kita manfaatkan hingga kini. Bagaimana di Belanda sendiri? Inilah antara lain yang membuat banyak orang ingin tahu. Hingga kini Belanda memiliki jaringan jalan, rel, dan kereta api yang berkualitas.

Naik kereta api di Belanda juga jauh lebih nikmat dibanding di negeri kita meski copetnya sama-sama banyak. Jika penumpang kereta di Indonesia sulit berbicara satu sama lain karena suara yang berisik, di Belanda bisikan penumpang bisa terdengar penumpang lain yang duduk di bangku seberang dan belakang.

Itu sebabnya, banyak orang Indonesia yang berkunjung ke Belanda ingin mencoba naik kereta. ”Rasanya enak sekali. Kursinya empuk. Serasa naik pesawat terbang,” kata Endah Mardihastuti, Direktur Eksekutif Indonesian Spa Professional Association, Jakarta, yang melakukan perjalanan dengan kereta api dari Utrecht menuju Amsterdam, pertengahan Januari lalu.

Endah bukan satu-satunya delegasi Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI di Vakantiebeurs 2010, pekan promosi terbesar di Utrecht (12-17 Januari) yang hari itu mencoba naik kereta. Ika Widianingsih, penyanyi dan pemain angklung dari Bandung, juga merasakan kereta yang sama. Semua memuji kereta Belanda.

Sambungan rel tidak terasa di badan penumpang saat kereta melaju kencang di atasnya, sedangkan di Indonesia kereta api terasa kasar, tidak enak, berisik. Suara trutuk-trutuk-trutuk terasa keras sehingga penumpang pun sulit tidur, padahal sama-sama rel desain orang Belanda.

Semua transportasi umum bermuara di Stasiun Pusat (Central Station). Dari Central Station, semua moda angkutan terkoneksi, mulai dari trem, bus, hingga kereta api. Semua jurusan ada, bahkan antarnegara pun tersedia. Pelayanan angkutan umum yang nyaman membuat masyarakat setempat suka menggunakan angkutan umum seperti kereta api, trem, dan bus.

”Di sini untuk parkir mobil pribadi sulitnya minta ampun. Tarif parkirnya juga mahal,” kata M Jusuf Sokartara (66), warga Belanda kelahiran Brastagi, Sumatera Utara, yang berputar-putar sekitar stasiun KA Utrecht untuk mencari tempat parkir mobilnya.

Ada cara lain bertransportasi sangat irit dan efektif. Cara satu ini adalah bersepeda seperti yang ditempuh oleh banyak warga Belanda. Hampir di jalan terdengar suara bel sepeda untuk minta jalan. Ribuan warga Amsterdam, Utrecht, dan kota-kota lain menggunakan sepeda untuk kerja dan bersekolah. Bahkan pejabat-pejabat kantor wali kota, termasuk wali kotanya di Den Haag, ngothel dengan sepeda menuju kantor.

Lapangan parkir di mana-mana penuh sepeda. Tidak ada sepeda motor yang tampak di lapangan parkir. Rata-rata sepeda yang mereka gunakan sepeda onthel, model dames (perempuan) dan laki-laki (batangan) seperti sepeda kuno yang banyak dikoleksi orang Jakarta dan Yogyakarta.

Tetapi tidak ada orang Indonesia yang mencoba naik sepeda walaupun di stasiun kereta tersedia sepeda sewaan. Persoalannya, pertengahan Januari lalu daratan Belanda sedang tertutup salju.

Banyak ruas jalan yang menjadi licin. Berjalan kaki saja kalau tidak berhati-hati terpelanting karena salju, apalagi bersepeda. Berbeda dengan orang Belanda. Mereka tetap bersepeda walaupun jalan berlapis salju. ”Kres-kres-kres,” bunyi ban sepeda yang meretas salju.

Bangunan yang mirip

Amsterdam, Jakarta, Bandung, dan Surabaya memiliki kemiripan dalam arsitektur bangunan, terutama bangunan yang didirikan pada zaman kolonial Belanda, seperti bangunan stasiun kereta api. Art deco adalah ciri arsitektur yang paling tampak pada bangunan-bangunan itu.

Cara merawat bangunan tua di Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda, bahkan di kota negara tetangga seperti Brussel, Belgia, patut diacungi jempol. Begitu pula kebersihan lingkungan di sekitarnya. Tidak terlihat bangunan tua yang kusam, seperti yang banyak terlihat di kawasan Kota Tua Jakarta.

”Mereka sadar sekali akan kota wisata. Jutaan wisatawan asing datang kemari tiap tahun,” kata P.LE. Priatna, Minister Counsellor Kedutaan Besar RI untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa saat mengajak keliling Kompas untuk melihat bangunan-bangunan abad ke-17 di sekitar Alun-alun Kota Brussel, Grand-Place (Grote Markt), yang paling banyak dikunjungi wisatawan asing. Belanda-Belgia merupakan negara yang berbatasan langsung dan bisa ditempuh dalam waktu dua jam.

Banyak wisatawan asing yang masuk Belanda langsung singgah ke Belgia. Ditunjang jalan yang mulus dan perjalanan antarnegara tanpa visa, membuat wisatawan asing mudah mondar-mandir ke kedua negara itu.

Di Indonesia, sebenarnya banyak bangunan yang mirip dengan bangunan tua di Amsterdam. Boleh jadi kemiripan ini karena adanya satu kesamaan bangsa arsiteknya, yaitu bangsa Belanda. Sejarah membuktikan Prof Ir Charles Proper (CP) Wolff Schoemaker, arsitek berdarah Belanda, bersama teman-temannya, seperti Thomas Karsten dan Henri Mc Laine Pont, pernah tinggal di Indonesia.

Schoemaker yang pernah menjadi dosen Presiden RI Soekarno di ITB itu terlahir di Banyubiru, Ambarawa, Jawa Tengah, tahun 1882, dan meninggal di Bandung pada tahun 1949. Makamnya berada di kompleks Taman Pemakaman Umum (TPU) Kristen Pandu, Bandung, yang sering dikunjungi wisatawan Belanda.

CJ van Dullemen, sejarahwan seni dari Universitas Leiden, Belanda, yang pernah meneliti kehidupan Schoemaker dan jejak karya-karya rancangannya, mengatakan, di Indonesia terdapat sekitar 68 gedung hasil rancangan CP Wolff Schoemaker. Sebagian besar gedung-gedung itu berada di Bandung, salah satunya hotel berbintang lima Grand Hotel Preanger. Lainnya berada di Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

Banyaknya peninggalan Belanda rupanya menjadi daya tarik sendiri bagi wisatawan Belanda. Mereka ingin melihat kehebatan karya bangsa mereka atau mungkin bahkan nenek moyang mereka. Inilah yang dikatakan Direktur Jenderal Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI Sapta Nirwandar bahwa Indonesia-Belanda punya ikatan historis.

Umumnya mereka (warga Belanda) suka melakukan perjalanan menempuh jalan darat, mulai dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali. ”Mereka sambil melihat bangunan cagar budaya, jalan, dan perusahaan-perusahaan perkebunan peninggalan Belanda,” kata Achmad Sufyani, Direktur Panorama Destination, Jakarta, yang banyak melayani wisata orang-orang Belanda.

Menurut Sufyani, perusahaannya melayani turis Belanda rata-rata 10.000 orang per tahun. Wisatawan itu kiriman dari FOX Vakanties, perusahaan travel besar di Belanda. CEO FOX Vakanties Marten de Ruiter yang ditemui Kompas membenarkan hal itu. Bahkan FOX menargetkan tahun ini bisa mengirim 20.000 wisatawan Belanda ke Indonesia.

Pasar Belanda dalam penawaran wisata ke Indonesia merupakan peluang yang sangat menjanjikan karena 10 persen (1,6 juta) dari 16,7 juta penduduk Belanda mempunyai ikatan historis dengan Indonesia.

Wisatawan Belanda yang berkunjung ke Indonesia tahun 2008 sebanyak 141.202 orang. Dan, tahun 2009 mulai Januari hingga November sekitar 132.184 orang. (M Nasir)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com