Musik jazz instrumentalia lembut melantunkan When I Fall in Love- nya Nat King Cole saat gerimis tipis membasahi halaman Bentara Budaya Yogyakarta, Senin (8/2) malam. Sejumlah penonton yang duduk di atas tikar mulai gelisah. Sebentar-sebentar pandangan mereka ke langit.
Kegelisahan para penonton panggung bebas Jam Jazz Bentara Budaya "Jazz Mben Senen..." yang digelar setiap Senin malam itu cukup beralasan. Pekan-pekan sebelumnya, hujan deras mewarnai panggung bebas yang digelar Komunitas Jazz Yogyakarta itu. Saat hujan mulai deras, penonton yang tak terlindung tenda biasanya "bubar" dan berdesakan di dalam tenda sempit tersebut.
Namun, cuaca apa pun tidak mematahkan semangat komunitas yang sebagian besar anggotanya berusia kurang dari 35 tahun itu. Panggung "Jazz Mben Senen..." belum pernah terhenti oleh cuaca apa pun. Pada malam berhujan, suasana basah, dingin, becek, berdesakan, ditingkahi kepulan asap rokok memberi atmosfer tersendiri pada panggung bebas itu.
Tidak pada malam itu. Cuaca tampaknya menggertak saja. Gerimis turun sesaat sebelum langit kembali cerah. Dan, pertunjukan pun meriah.
Sekitar 50 penonton santai lesehan. Sebagian asyik ngobrol di angkringan di sebelah kanan panggung. Tersedia jajanan sederhana: aneka gorengan, kacang rebus, teh hangat, dan susu.
Sisanya berkeliaran di sekitar panggung dan saling menyapa. Beberapa pelintas di jalan raya berhenti, menyempatkan diri menonton dari pinggir jalan.
Suasana Jam Jazz sungguh jauh dari kemewahan dan eksklusif, yang biasanya membalut pertunjukan jazz. Konsepnya pun sederhana, siapa saja silakan singgah untuk nonton, menikmati, atau ikut bermain tanpa banyak birokrasi.
"Spirit Jam Jazz ini memang untuk menghapus label eksklusif pada musik jazz. Kami ingin mengembalikan jazz pada asalnya, yaitu musik perjuangan rakyat tertindas," kata Danny Eriawan, salah seorang anggota senior Komunitas Jazz Yogyakarta sekaligus pemain bass. Ia banyak bermain pada ajang jazz nasional maupun internasional.
Lokalitas
"Jazz Mben Senen..." digelar di Bentara Budaya Yogyakarta sejak pertengahan Desember 2009. Sesuai namanya, pertunjukan jazz itu digelar setiap Senin malam, mulai pukul 21.00 hingga 24.00. Acara itu digagas dan dihidupi Komunitas Jazz Yogyakarta.
Dibandingkan dengan pertunjukan jazz lain, yang biasanya diembel- embeli tema berbahasa Inggris, komunitas itu sengaja memilih bahasa lokal. Dalam hal ini bahasa Jawa. Seperti karakter jazz yang terbuka menerima segala jenis musik, dengan bahasa lokal itulah mereka menyatakan: jazz terbuka bagi publik.
Keprihatinan akan eksklusivitas jazz itu menjadi keprihatinan bersama. Hampir semua yang hadir malam itu mengaku keberatan bila jazz menjadi musik di restoran dan kafe mahal. Apalagi pertunjukan jazz dibanderol harga tiket puluhan hingga ratusan ribu rupiah dengan penjagaan ketat.
Guyub dan rukun sangat kental. Semua ditanggung bersama dengan "kotak tips musik" untuk menampung sumbangan sukarela. Saling pinjam alat-alat musik pun lumrah. Lihat saja Benyamin Agung Laksono yang masuk ke halaman Bentara Budaya Yogyakarta dengan senyum mengembang. Setelah menemukan tempat parkir yang lega, ia bergegas menghampiri sekumpulan penonton pertunjukan musik di pojok selatan BBY sambil menggoyangkan badan.
Benyamin, yang biasa dipanggil Benny, menggendong jimbe. Tak berapa lama menikmati musik di tempat penonton, musisi jazz Djaduk Ferianto yang memainkan alat perkusi memanggilnya ke depan. "Wah, saya dipanggil Mas Djaduk. Saya ke depan dulu, ya," katanya.
Ia bergegas maju. Lalu memainkan jimbe-nya untuk mengiringi para musisi jazz muda yang tampil. Jam Session "Jazz Mben Senen" yang sudah dimulai sejak pukul 21.00 itu pun menghangat.
Bersama Benny, lebih dari selusin musisi dan penyanyi jazz mempertontonkan kepiawaian. Kebanyakan masih muda. Mereka datang dengan sukarela. Memainkan alat musik yang kebanyakan dibawa sendiri dari rumah, seperti Benny.
Penonton asyik menikmati penampilan di panggung. Tak peduli lesehan di atas tikar plastik atau berdiri. Santai dan hanyut. Sesekali tepuk tangan mengiringi irama yang dimainkan.
Suasana tambah meriah saat penyanyi Anis Saihu tampil membawakan lagu milik Bob Marley bernuansa jazz. Penonton ikut bernyanyi pada bagian refrain: I don't wanna wait invain for your love& Tiba-tiba, dalam irama jazz yang masih kental, penyanyi berambut gimbal itu dengan usilnya menyelipkan sepenggal syair bahasa Jawa: Wong Jawa saiki padha edan kabeh, yen ora edan ra keduman...
Djaduk pun riang menanggapi dengan syair yang tak kalah tengilnya. Dengan ini, sesi jam yang sangat dinanti dalam setiap pertunjukan Jazz pun dimulai. Malam makin larut. Musik jazz bernuansa lokal dan merakyat meliuk-liuk larut di udara Yogyakarta... (IRENE SARWINDANINGRUM/IDHA SARASWATI)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.