Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menari di Desa Karo

Kompas.com - 17/04/2010, 16:50 WIB

Tiba-tiba perjalanan kami dihadang oleh ribuan lebah. Rupanya pasukan penghasil madu ini sedang berpindah tempat dari atap sebuah waluh jabu menuju ke rumah baru. Kami pun berjalan memutar, hingga masuk ke halaman sebuah rumah.

Tiga pasang muda-mudi menunggu. Irama musik karo mengalun dari sebuah DVD player. Irama yang lahir dari sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, gendang penganak, dan gung, alat musik tradisional Suku Karo. Sepintas suaranya mirip gamelan Sunda. Setelah berbincang sejenak, tiga pasang muda-mudi pun mulai menari. Kedua tangannya berayun menggerakkan uis gara, selendang Karo, sedang pinggang mereka dililit abit, semacam kain atau sarung.

Gerakan tari mereka amat perlahan. Tidak sedinamis Tari Kecak di Bali, misalnya, atau segemulai Tari Gambyong di Jawa. Namun gerakan lambat itu tentu membutuhkan keseimbangan tubuh yang mumpuni. Pantas begitu mengakhiri sebuah tarian, seorang penari mengaku kelelahan. “Istirahat dulu Bang, capek,” katanya.

Lepas melihat latihan menari, kami berjalan keliling Lingga. Ada beberapa jenis rumah adat di sini. Ada jambur, waluh jabu, geriten, lesung, dan sapo page. Geriten adalah tempat menyimpan tulang belulang, biasanya bentuknya tertutup. Sedang lesung merupakan tempat menyimpan lesung yang akan digunakan untuk menumbuk padi. Padi disimpan di lumbung yang disebut sapo page.

Seorang lelaki asyik menganyam bambu, membuat keranjang. Pengrajin sagak dia rupanya. Tekun dia duduk di depan waluh jabu miliknya. Seorang bocah perempuan muncul dari ujung tangga. Tersenyum dia memanggil abangnya yang masih di dalam. Tak jauh dari situ dua nenek asyik mengobrol sambil duduk di tanah memandang ayam-ayam. Tak dihiraukannya dua cucunya yang datang. Senja terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.

Di tempat lain seorang lelaki juga menganyam bambu. Keranjang bambu tinggi berjajar di dekatnya. Selain berkebun, menjadi pengrajin sagak menjadi sumber penghidupan penduduk Lingga. Kami  lalu berjalan melewati satu dua toko kelontong yang menjual aneka kebutuhan hidup mulai mie instan, roti, hingga isi pulsa. Parabola menyembul di antara waluh jabu, menandakan bahwa tak semua saluran teve nasional bisa ditangkap di sini.

Puas berkeliling, Edhie mengajakku mengunjungi Museum Karo Lingga. Museum mungil berbentuk rumah adat Karo itu dijaga oleh anak kelas 5 SD. Rupanya dia menggantikan ibunya yang sedang ke ladang. Tak banyak koleksi museum. Hanya pakaian adat Karo, alat musik tradisional, perangkat rumah tangga, dan aneka topeng yang digunakan dalam perayaan tradisional.

Hari mulai gelap ketika kami meninggalkan museum. Berjalan melalui Gereja St Petrus, lumbung padi Ginting, dan kompleks kuburan Sibayak lama. Akhirnya kami keluar dari gapura bertuliskan "Terimakasih Anda Telah Mengunjungi Desa Wisata Lingga", lalu naik angkot  menuju Kabanjahe. Sebelum berpisah, sempat kami menikmati kopi susu di sebuah warung kopi sambil memandang hujan turun. (Ary Amhir)

 

Artikel lainnya bisa dilihat di http://wisata.kompasiana.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com