Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alam dan Adat Dayak sebagai Aset Wisata

Kompas.com - 31/07/2010, 16:36 WIB

Oleh: Muhammad Syaifullah dan Defri Werdiono

”Sebelum pilkada Juni lalu, salah satu tim sukses calon gubernur Kalimantan Selatan sempat diusir oleh Damang (kepala adat masyarakat Dayak) ketika menawarkan penambangan modern di Loksado. Tim sukses itu pun langsung pulang,” tutur Kinoi, salah seorang warga Loksado, dua pekan lalu.

Apa yang diceritakan Kinoi menjadi gambaran bahwa masyarakat setempat ingin Loksado dengan kondisi alamnya yang indah bergunung-gunung tetap dipertahankan. Keindahan alam ditambah atraksi budaya masyarakat menjadi aset besar yang bisa digali untuk kepentingan masyarakat.

Sekarang tinggal bagaimana pengelolaan kekayaan alam dan potensi masyarakat itu menjadi sumber yang lebih menguntungkan. Jangan sampai Meratus, khususnya Loksado, yang berada di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, habis oleh keserakahan sebagian orang, seperti yang sudah terjadi di daerah lain, berupa kerusakan lingkungan.

Efek selanjutnya diharapkan kesejahteraan masyarakat bisa meningkat karena selama ini masyarakat lebih banyak bergantung pada hasil pertanian dan perkebunan. Mereka mengandalkan dari karet dan kayu manis, yang harganya terkadang membaik, tetapi tidak jarang juga merosot.

Kegiatan budaya

Mindri, Kepala Desa Tumingki, salah satu dari 11 desa di Kecamatan Loksado, menyatakan sangat setuju jika kegiatan budaya, utamanya upacara adat, seperti aruh ganal, dijadikan obyek wisata. Alasannya, upacara yang dilakukan dalam rangka panen ini menarik perhatian masyarakat luar. Sebutlah wisatawan dalam negeri pun tertarik menyaksikannya.

Apalagi, tidak ada aturan yang membatasi kedatangan pengunjung. Siapa saja boleh masuk kampung dan balai adat selama masih dalam waktu yang ditentukan. Artinya, mereka tidak datang terlambat. ”Datanglah sebelum prosesi dimulai,” ujar Mindri.

Apa yang dikatakan Mindri cukup beralasan karena di Loksado terdapat 43 balai adat, yang mana sebagian di antaranya menggelar ritual secara berkesinambungan, minimal dua kali dalam setahun. Wisatawan yang ingin menikmati upacara adat bisa bermalam di kampung dan menikmati alam pegunungan yang masih asli.

Senada dengan Mindri, Udin Semprong, Kepala Desa Kamawakan, mengaku, selama ini belum ada sentuhan optimal terhadap ritual masyarakat Dayak. Aruh masih digelar apa adanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com