Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nasionalisme di Balik Kapurung dan Kara'

Kompas.com - 03/08/2010, 15:40 WIB

JANGAN mengaku sebagai orang Palopo jika tidak paham tentang kapurung. Belum sah sebagai orang Bugis-Makassar jika tidak mengenal bannang-bannang alias karasa’. Ungkapan itu menegaskan, satu bangsa bisa dikenal lewat makanan, di samping bahasa dan busana.

Ketika lebih dari 100 jenis makanan tradisional Sulawesi Selatan (Sulsel) terhidang di halaman Kampus Universitas Negeri Makassar (UNM), Minggu (1/8/2010), konteksnya tidak sekadar memanggungkan wujud dan cita rasanya. Dihelat menjelang perayaan HUT Ke-65 Kemerdekaan Republik Indonesia dan suasana Dies Natalis Ke-49 UNM, sajian menu dari sejumlah pelosok wilayah Sulsel itu padat makna.

Paling tidak, di tengah perubahan pola makan akibat serbuan produk makanan lewat restoran cepat saji berlabel asing, muncul gugatan akan identitas diri sebagai satu bangsa. Di manakah jati diri bangsa di tengah percaturan global?

”Kemampuan mengelola sumber daya alam dengan kearifan lokal dan sentuhan teknologi mencerminkan peradaban dan harkat bangsa,” ujar Prof Dr Arismunandar, Rektor UNM.

Kapurung adalah salah satu varian makanan orang-orang pedalaman Sulsel, mencakup entitas Luwu (Palopo), yang didominasi bahan baku dari sagu. Bersentuhan dengan Teluk Bone, kondisi geografi daerah tersebut memungkinkan sagu tumbuh subur. Warga setempat pun merasa belum makan siang jika belum menyantap kapurung.

Sementara bannang-banang alias karasa’ adalah penganan penting untuk berbagai acara adat Bugis-Makassar, seperti acara pernikahan dan syukuran kelahiran. Makanan yang tampilannya mirip roti jala ala Medan dan Aceh itu berbahan beras dan gula aren.

Ini mencerminkan masyarakat Bugis-Makassar yang mendiami pesisir barat dan selatan jazirah Sulsel memang sudah sejak lama mengenal beras dari hasil bercocok tanam. Karena melimpahnya produksi padi, beras tak hanya untuk makanan pokok, tetapi juga untuk camilan.

”Kami juga punya kanrejawa palita,” ujar Hajah Murni (41), peserta festival asal Kabupaten Gowa. Menu yang dia maksud berupa kue basah berbahan tepung beras, telur, nangka, bercampur air santan dan sari daun pandan.

Baik kapurung, bannang-bannang, maupun lebih dari 100 menu makanan khas tradisional Sulsel yang dihidangkan itu tentulah membutuhkan proses dan kecakapan pembuatnya.

Makna festival kuliner pun kian bernas. Tak hanya pesan nasionalisme, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter, wacana yang sedang giat-giatnya digalakkan dunia pendidikan belakangan ini.

Maklum, makanan ”endemik” Sulsel yang dihidangkan pada hari itu tentulah membutuhkan proses pembuatan dan penyajian berikut kecakapan.

Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional, Dodi Nandika mengapresiasi festival itu dalam upaya menjabarkan peran perguruan tinggi sebagai inspirator kemajuan masyarakat. ”Kita tersadarkan untuk menghindari mentalitas menerabas. Kuliner juga menekankan bobot, mutu, serta aspek kemasan atau tampilan,” katanya.

Bisa jadi, inilah sentilan bagi dunia kemahasiswaan di Makassar, yang belakangan ini akrab dengan orasi dan tindakan spontan—menjurus anarkistis— tanpa mengedepankan etika dan estetika. (NASRULLAH NARA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com