Saya coba kontak suami saya, karena para petugas sudah meminta saya segera meningalkan tempat menjauhi tempat ibadah. Memang berbeda dengan di Indonesia, masjid di Perancis yang kebanyakan dipegang oleh Imam dari daerah Arab sangat ketat dalam peraturannya. Misalnya bila tak berjilbab wanita dilarang masuk masjid. Dan bahasa yang digunakan kerap bahasa arab, karena bagi mereka memeluk Islam berarti menguasai juga bahasa arab. Dan hal itulah yang kadang membuat saya dan suami lebih memilih shalat di rumah dan di hari raya lebih memilih salat jemaah bersama bangsa indonesia di Konsulat Indonesia karena lebih mengerti bahasanya.
Untung suami saya tak mematikan telepon genggamnya dan segera bergabung dengan saya. Melihat saya didampingi oleh suami, para petugas berhenti mengusir saya. Dan saya meminta kepada David alias Kang Dadang suami saya untuk mengambil gambar dengan telepon karena saya sudah tak berani lagi mencoba-coba.
Usai salat, kami mencoba menanyakan di mana diadakannya kurban? Kecewa sekali mendengar jawaban dari petugas, yang menyatakan: mulai tahun ini walikota Montpellier melarang diadakannya kurban karena alasan higienis. "Kalau mau Anda bisa ke kota terdekat yaitu Baillargues dan Pezenas," kata petugas tadi.
Kota terdekat bisa dibilang antara 15 hingga 55 km. Larangan ini sedikit menggelitik pikiran saya. Maka esok harinya saya pergi ke kantor walikota setempat untuk mendapatkan keterangan. Setelah lama menunggu, akhirnya saya berhasil mendapat informasi dari salah satu pegawai walikota. Pada awalnya dia curiga saya mencari informasi untuk alasan negatif setelah berhasil menyakinkan justru saya datang agar bisa menulis informasi dari dua pihak, barulah dirinya bersedia menemui saya.
Menurut François, larangan diadakannya kurban di kota Montpellier alasan utamanya memang dari segi higienis. Karena saat Idul Adha, banyak binatang kurban yang disembelih tanpa melewati pengawasan sesuai peraturan. Mulai dari asal binatang itu sendiri, dan cara penyembelihan binatang di Perancis ada peraturannya.
Berhubung tahun kemarin terdapat sedikit kasus yang menyebabkan adanya bakteri yang tersebar dari daging hewan yang telah tersembelih kepada daging yang telah disiapkan untuk pasaran, maka diputuskan untuk tahun sebaiknya penyembelihan kurban di tempatkan pada penyembelihan khusus di pinggiran kota Montpellier.
Sementara kaum muslim di Montpellier sendiri beberapa yang saya tanyakan, mereka merasakan adanya ketidakadilan. Pertama karena, bagi mereka kurban itu wajib dilakukan. Sementara dua tempat terdekat yang disediakan oleh pemerintahan setempat hanya menampung 200 hewan per harinya. Padahal sekitar 15.000 kaum muslimin setempat yang dengan setia lebih memilih melakukan kurban secara langsung. Maka bagi mereka kewajiban berkurban dilakukan secara langsung tak bisa terlaksanakan namun harus menunggu hingga tiga hari, yang mana tak memungkin bagi mereka.
"Kamu sendiri bagaimana? Tak berkurban memangnya? Kok baru menanyakan sekarang?" tanya salah satu dari orang yang saya tanyakan.
"Alhamdulillah hingga kini kami masih bisa berkurban, hanya memang setiap tahunnya selalu di tanah air. Di sana lebih banyak orang yang membutuhkan dari pada di sini. Dan lagi harga satu ekor kambing di sana setengahnya dari harga satu ekor kambing di sini," jawab saya.
"Apalagi di Indonesia untuk kurban tak ada masalah seperti di Perancis. Mau kurban di halaman rumah juga silakan saja, tidak bakalan ada tilang seperti di Perancis," kata saya lagi.