Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jatuh Bangun Mengasah Mutiara

Kompas.com - 12/03/2011, 05:26 WIB

Bang, saya pengen main. Main, ya, Bang,” celoteh anak-anak kepada seorang lelaki paruh baya. Mereka mengerubungi lelaki yang menggunakan kaus bertuliskan coach di punggungnya.

Riuh rendah celoteh anak terdengar di berbagai sudut Lapangan Arcici, Rawasari, Jakarta Pusat, Jumat (11/3) petang. Ratusan anak berseragam menyesaki setiap sudut lapangan. Mengolah, menggiring, menyundul, dan menangkap bola di lapangan yang tak rata. Butiran keringat pun mengucur.

”Melelahkan, tetapi anak-anak jadi sehat. Enggak nongkrong di depan televisi lagi. Pulang latihan, mandi, kemudian langsung tidur,” kata Djarwo, orangtua Jono, siswa Sekolah Sepak Bola (SSB) Mutiara Cempaka.

Ganti nama dan vakum

Bagi M Nasir, Pelatih Kepala Mutiara Cempaka, tidak mudah mengelola SSB pada awal tahun 1980-an. Minimnya minat merupakan kendala utamanya.

Dikenal sebagai Persatuan Sepak Bola (PS) Agora, kependekan dari Anak Gelanggang Olahraga Rawasari, pengurus kemudian mengubahnya menjadi SSB Mutiara Cempaka tahun 1990. Antara tahun 1987 dan awal 1990-an menjadi era sulit pengurus.

”Sekolah sempat vakum. Bisa dikatakan bangkrut,” ujar Nasir. Tiga anak berlatih pagi hari dan tujuh anak sore hari tidak cukup untuk membuat satu tim yang utuh. Latihan dihentikan hingga batas waktu yang tidak ditentukan.

Bantuan Korea

Awal 1990-an muncul secercah harapan. Beberapa pengusaha garmen asal Korea Selatan, yang memanfaatkan kemampuan Nasir melatih bola, mau mengucurkan dana bagi Mutiara Cempaka. Setiap bulan Nasir memperoleh bantuan Rp 600.000.

”Saya cetak brosur dan pamflet. Saya minta anak-anak yang masih aktif nyebarin ke lingkungan rumah mereka. Satu per satu calon murid mulai mendaftar,” tutur Nasir.

Tantangan lainnya adalah rencana alih fungsi lapangan menjadi lapangan golf. Namun, menurut Nasir, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Atmodarminto menolaknya. ”Kami pun bisa berlatih dengan tenang,” ujarnya.

Sejak itu aktivitas sepak bola di lapangan ini berdenyut kembali. Dalam dua tahun, empat tim terbentuk. Pelatih pun ditambah. Perlahan, gemblengan para pelatih tersebut membuahkan hasil.

Tiga murid SSB Mutiara Cempaka masuk tim sepak bola DKI Jakarta yang berlaga di turnamen Sister City di Jepang beberapa tahun lalu. Lima anggota tim nasional futsal Indonesia pernah menjadi murid sekolah ini.

Usia dini

Sekarang, sekitar 250 anak, berusia antara 6 tahun dan 20 tahun, berlatih di SSB Mutiara Cempaka. Latihan pun bertambah dari tiga kali sepekan menjadi setiap hari. Namun, ratusan bakat muda tidak bisa bermain ke jenjang yang lebih tinggi.

Penyebabnya, kata Nasir, PSSI tidak menggelar kompetisi kelompok umur secara rutin. Kompetisi jenis ini lebih banyak diadakan oleh swasta.

”Kita ini bejibun pemain berbakat. Naturalisasi itu pilihan terakhir. Pembinaan berjenjang yang perlu dilakukan,” ujar Nasir. Sambil berharap revolusi di tubuh PSSI, mutiara-mutiara di lapangan terus diasah. (Mahdi Muhammad)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com