”Tiga tahun lebih saya bekerja di Bandung. Setelah itu saya pulang ke Purbalingga,” katanya.
Pada tahun 1997, dengan berbekal uang Rp 1,5 juta hasil bekerja selama tiga tahun di Bandung, Bambang pun memulai usaha membuat sapu.
”Membuat sapu adalah keterampilan yang saya miliki sejak kecil. Karena itu, saya memantapkan diri memilihnya sebagai jalan hidup,” katanya.
Awalnya ia membuat sapu dari bahan ijuk kelapa. Namun, karena kian sulitnya mendapat bahan baku ijuk, ia beralih ke rumput glagah yang ketersediaannya melimpah di Purbalingga serta bulunya yang lebih halus. Selain itu, ia juga membuat sapu lidi.
Pada tahun-tahun awal usaha, Bambang menjual sapunya dengan berkeliling dari kampung ke kampung naik sepeda. Dia jajakan barangnya dari rumah ke rumah. Hingga tiga tahun pertama, cara itu dijalaninya. Sapu tidak laku sudah menjadi pengalamannya setiap hari.
”Pada awal-awal, modal utama saya hanya hati yang besar sebab semua usaha ini tak mudah,” kata Bambang.
Saat berkeliling, Bambang tak sekadar menjajakan sapunya. Dia juga membangun jaringan. Hingga akhirnya, dia dipercaya menyuplai sapu ke sejumlah distributor di Purwokerto dan Purbalingga. Pada awal 2000-an, dia mampu menjual sapu-sapunya ke Tasikmalaya, Bandung, Bogor, hingga Jakarta.
Pada tahun 2002, di tengah usahanya yang kian berkembang, dia mengalami rugi besar. Dia ditipu salah seorang distributor. Selain itu, kredit usahanya macet karena uang pinjaman bank yang semestinya untuk modal usaha dipakainya untuk kredit sepeda motor.
”Itu kesalahan saya yang waktu itu masih minim pengetahuan manajerial. Hampir dua tahun saya vakum. Puluhan karyawan saya pun menganggur,” tutur bapak dua anak ini.
Pada tahun 2004, dia berupaya bangkit. Dia bangun kembali usahanya. Manajemen pun dibenahinya. Dia tak lagi sembarangan menggunakan uang usaha.