Dahulu tak banyak orang tahu tentang Asmat. Kini dunia luar memahaminya sebagai wilayah dengan budaya yang unik. Selain kearifan lokal penduduknya, kekhasan patung dan ukiran Asmat juga diapresiasi banyak orang. Dahulu Agats menjadi bagian dari Kabupaten Merauke, tetapi kini menjadi kabupaten sendiri.
Dalam keadaan suku Asmat menjadi terbuka, yang justru dikhawatirkan Mgr Alo adalah ketertinggalan suku Asmat. Karena keterbatasan itu, dengan mudah mereka menjadi ”makanan” pendatang.
Mereka relatif belum kenal budaya uang, belum sepenuhnya mengenal budaya menetap, dan mengandalkan alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan pendidikan yang menjadi sarana dan pelayanan utamanya, Mgr Alo berusaha mengajak masyarakat Asmat menjadi ”tuan tanah” di tanah mereka sendiri.
Ia menyadari, tujuan itu bukan tugas yang mudah. Namun, dengan mengangkat kelebihan dan kearifan lokal mereka, ia yakin suatu saat masyarakat Asmat bisa duduk sejajar dengan saudara mereka di wilayah lain.
Kalau kini sebagian besar unsur pimpinan birokrasi pemerintah daerah—seperti diakui Bupati Yuvensius—dipegang sejumlah pendatang, suatu saat nanti orang Asmat harus mampu melakukannya. Untuk itu, selain sarana pendidikan umum, di Agats dan kecamatan-kecamatan lain pun perlu didirikan sekolah menengah kejuruan.
Salah satu caranya, Mgr Alo membaurkan diri dan hidup di tengah orang Asmat. Dengan berbaur dalam kehidupan sehari-hari mereka, dia merasa sebagai bagian dari orang Asmat. Dia percaya, segala sesuatu niscaya berbuah manis jika dijalankan dengan ketulusan dan hati bersih.
Mgr Aloysius