Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Pengotan, Menikah Harus Bersama-sama

Kompas.com - 08/06/2011, 09:11 WIB

Sapi merupakan persembahan pokok dalam upacara itu. ”Dulu setiap pasang pengantin wajib menyerahkan satu ekor sapi. Sekarang cukup satu ekor sapi untuk semua pasangan,” kata Kopok. Perubahan itu dilakukan supaya tidak memberatkan pengantin. Jika satu ekor sapi Rp 4 juta, maka setiap pasangan hanya membayar sekitar Rp 200.000.

Selain sapi, ada pula sesaji lain yang disiapkan, seperti nasi, daging ayam, dan buah-buahan. Semua sesaji itu sudah harus tertata rapi sebelum para pengantin dipanggil masuk ke dalam pura. Setiap pasangan yang memakai baju adat berupa kain songket khas Bali diarak satu per satu menuju ke pura.

Di luar pura, para pengantin mengikuti ritual pembersihan diri atau pebiak kalan. Pembersihan diri juga dilakukan di dalam pura oleh para pendeta dan sekaligus menjadi ritual inti pernikahan massal ini.

Pura tampak penuh sesak selama prosesi pernikahan berlangsung. Siapa pun yang ingin menyaksikan pernikahan ini harus memakai pakaian adat Bali. Pria memakai kain kamben dan udeng, sementara kaum perempuan memakai kain kamben dan kebaya. Perempuan yang sedang datang bulan tidak boleh masuk pura.

Sebelum pulang ke rumah, para pengantin harus melakukan ritual di setiap pura di desa itu yang berjumlah 13 pura. Para pengantin pun tampak hilir mudik berjalan kaki di jalan desa dengan diantar anggota keluarga mereka. Proses itu membutuhkan waktu sekitar 1,5 jam.

Sesampainya di rumah adat, setiap pasangan pengantin saling menyuapi makanan sebagai simbol untuk saling menghidupi. Prosesi itu diiringi kidung berbahasa Bali yang dinyanyikan tetua desa.

”Setelah pebratan selesai, kami akan pindah ke rumah kami sendiri,” kata salah seorang pengantin pria, Wayan Dayuh (36). Prosesi pernikahan dan pebratan itu berlangsung di rumah adat. Di Desa Pengotan, permukiman warga mirip sistem kluster. Setiap kluster yang terdiri dari beberapa unit rumah dihuni oleh satu keluarga besar dan di dalamnya terdapat satu rumah adat.

Kearifan lokal

Salah seorang warga Desa Pengotan, Made Paksa (36), menjalani ritual pernikahan massal itu pada tahun 1989 bersama empat pasang pengantin lainnya. ”Hampir semua prosesi upacara nikah masih asli, sampai sekarang tidak banyak berubah,” katanya.

Para pemimpin di desa itu pun berusaha keras melestarikan tradisi satu-satunya di Bali ini karena pernikahan massal ini mengandung nilai-nilai yang positif. Salah satunya adalah pemberian denda bagi pengantin perempuan yang hamil di luar pernikahan. Mereka akan didenda Rp 40.000 per bulan hingga pernikahan massal itu berlangsung.

Sanksi adat berupa denda juga berlaku bagi warga Desa Pengotan yang menikah dengan tradisi lain. Sanksi itu akan ditentukan oleh para pemimpin desa.

Meski unik, pemimpin desa tidak berambisi menjadikan ritual ini sebagai daya tarik wisata utama. ”Yang penting tradisi ini tetap bertahan,” kata Kopok.

Bagi Desa Pengotan yang dihuni 699 keluarga dan sebagian besar di antaranya bekerja sebagai petani, pernikahan massal itu cukup meringankan beban warga. Keluarga setiap pasangan pengantin pun menjadi lebih akrab karena banyak hal yang ditanggung bersama. Kearifan lokal itulah yang perlu dilestarikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
8 Tips Hindari Barang Bawaan Tertinggal, Gunakan Label yang Mencolok

8 Tips Hindari Barang Bawaan Tertinggal, Gunakan Label yang Mencolok

Travel Tips
Sandiaga Harap Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata Hijau

Sandiaga Harap Labuan Bajo Jadi Destinasi Wisata Hijau

Travel Update
10 Tips Bermain Trampolin yang Aman dan Nyaman, Pakai Kaus Kaki Khusus

10 Tips Bermain Trampolin yang Aman dan Nyaman, Pakai Kaus Kaki Khusus

Travel Tips
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com