Yulia Sapthiani
Tenun Minahasa sempat hilang karena masuknya budaya Eropa dan budaya daerah lain di Nusantara. Tenun Minahasa kembali dan tampil cantik di panggung mode ”The Enchanting Culture of Minahasa” di Djakarta Theater, Kamis (30/6) malam.
Sentuhan tangan perancang Thomas Sigar, dalam kerja samanya dengan Yayasan Institut Seni Budaya Sulawesi Utara, membuat tenun Minahasa hidup kembali secara perlahan. Dalam ”The Enchanting Culture of Minahasa”, Thomas menampilkan busana dalam gaya etnik modern dari tenun sutra bermotif patola, serta penggabungan dengan motif lain yang diperkenalkan dua tahun lalu, yaitu pinawetangan, pinatembega, dan pinatikan.
Patola, seperti dijelaskan dalam buku
Motifnya berbentuk geometris menyerupai sirip ular sawah yang dalam istilah Minahasa disebut juga patola. Sebagai binatang yang disakralkan karena dianggap sebagai dewa penjaga padi, kain patola pun disakralkan, terutama pada masa pra-Kristiani.
Selain motif, buku tersebut juga menjelaskan bahwa budaya India berpengaruh pada pemakaian. Kain-kain dari India dipakai untuk berbagai acara, seperti pernikahan, pemakaman, dan kelahiran.
Motif lain, yaitu pinawetengan, pinatembega, dan pinabia telah terlebih dulu diperkenalkan Thomas pada peragaan busana dua tahun lalu, juga di Jakarta, yang bertema ”Lost Treasure of Minahasa”. Pinawetengan adalah kain yang motifnya berupa gambar manusia yang diambil dari guratan-guratan di atas batu yang dikeramatkan masyarakat Minahasa.
Pinatembega adalah tenun yang bermotifkan perhiasan tembaga yang dulunya dipakai pria suku Minahasa saat akan berperang. Adapun pinabia adalah kain yang motifnya berupa kerang-kerangan, sebagai simbol kekayaan laut Minahasa.
Melalui desain yang dibuat Thomas, kain-kain bermotifkan patola, pinawetengan, pinatembega, dan pinabia tersebut ditampilkan dalam peragaan yang dibagi ke dalam dua subtema, yaitu
Nuansa Minahasa disuguhkan kepada penonton dengan alunan alat musik kolintang yang dimainkan grup Kawanua, serta tari-tarian yang menggambarkan bersemangatnya muda-mudi Minahasa hingga yang bernuansa ritual.
Dalam
Gaya lebih beragam terlihat pada bagian kedua peragaan yang menggabungkan motif sisik ular dengan pinawetengan, pinatembaga, dan pinabia. Pilihan gaya disediakan mulai dari jaket bermotif dengan rok pendek polos yang cocok digunakan untuk bekerja, kebaya polos dengan bawahan berupa kain bermotif pinatembega, atau gaun
Apa yang dilakukan Thomas dan YISB Sulawesi Utara ini merupakan upaya untuk menghidupkan kembali tenun Minahasa yang sudah menghilang sekitar 200 tahun karena kentalnya pengaruh budaya luar yang dibawa penjajah, terutama Belanda. Minimnya pendokumentasian informasi tenun ini membuat Thomas harus mengandalkan buku dan foto yang memperlihatkan penggunaan tenun dalam kegiatan tarian ritual.
Informasi sangat terbatas. Tidak ada data tentang lokasi tempat tenun dibuat, siapa pemakai, dan bagaimana cara memakainya. ”Contoh kainnya pun yang saya tahu hanya ada selembar di Museum Nasional dan beberapa di Belanda,” tutur Thomas, yang pernah mengolah kain tradisional daerah lain, seperti Aceh, Cirebon, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur ini.
Sementara itu, Ketua YISB Sulawesi Utara Benny J Mamoto menjelaskan alasan di balik pemilihan Jakarta sebagai tempat untuk memperkenalkan tenun Minahasa. ”Jakarta adalah kota yang gaya hidupnya dijadikan acuan orang dari daerah lain. Dengan memperkenalkan tenun Minahasa di Jakarta, saya berharap orang asli Minahasa turut memakai dan bangga atas kekayaan budaya mereka,” kata Benny.