Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aceh Asal Mula, Tambora Jalan Pembuka

Kompas.com - 12/09/2011, 13:35 WIB

Saat menelisik lebih dalam ke kisah lama, ironi tentang negeri yang berada di lingkaran Cincin Api dunia ini semakin terpampang. Selama ribuan tahun sebelumnya, nenek moyang kita ternyata mengembangkan teknik untuk beradaptasi dengan berbagai bencana alam itu. Desain rumah-rumah tradisional di nusantara, nyaris semuanya aman gempa, mulai dari rumah Nias, Batak, Karo, Jawa, dan lain sebainya. Tak hanya materialnya yang dari kayu, teknik konstruksi yang dibuat juga tahan dengan goyangan gempa.

Di Pulau Simeulue, Aceh, masyarakat tradisional juga telah mengembangkan strategi budaya ”smong” dalam menyiasati tsunami yang kerap melanda. ”Nga linon fesang smong,” demikian kepercayaan masyarakat setempat: ’setelah gempa akan datang tsunami.’

Smong merupakan kata-kata ajaib yang menyelematkan warga Simeulue saat tsunami melanda pada 26 Desember 2004. Waktu itu, ”hanya” tujuh orang di Simeulue yang meninggal akibat tsunami, dibandingkan dengan ribuan rumah yang tersapu gelombang ini. Warga di sana telah meninggalkan rumah, sesaat sebelum tsunami tiba.

Smong yang dalam bahasa lokal berarti ombak yang bergulung, seperti kata-kata yang ajaib. Begitu mendengar kata smong, warga Simeulue akan berlari ke luar menuju satu titik: perbukitan.Pengetahuan tentang smong ini berasal dari ingatan kolektif mereka terhadap bencana tsunami yang melanda pulau ini ada 1907, bahkan mungkin lebih lama lagi.

Di Pulau Mentawai, masyarakat setempat mengembangkan pola hidup menjauh dari laut yang kerap mengirim tsunami. Walaupun mereka tinggal di kepulauan, tetapi, pusat orientasi buadaya mereka adalah hutan di pedalaman pulau. Selama ribuan tahun, mereka seperti sengaja menjauh dari laut, dan baru pindah ke daratan setelah para migran dan Orde Baru membangun kota-kota baru di pesisir sejak tahun 1970-an.

Tata ruang dan pembangunan baru yang berorienteasi pada pertumbuhan dan alasan politik praktis telah mengabaikan kearifan lama maupun strategi teranyar untuk menghadapi bencana gempa, gunung berapi, dan tsunami. Kota-kota dianyam di atas jalur patahan, rumah di bangun dengan batu bata dengan tulangan seadanya sehingga tidak aman gempa, diletakkan di pesisir yang rentan dilabrak tsunami, mapun di lereng gunung berapi.

Usulan ekspedisi

Kapan dan kenapa kita seperti terputus dengan strategi adaptasi yang telah dirintis nenek moyang kita? Bagaimana sesungguhnya sejarah dan peta bencana di negeri ini dan kenapa kebanyakan masyarakat lupa? Kenapa sedemikian banyak petaka karena fenomena geologi terjadi di negeri ini? Kenapa warga selalu kembali ke tanah mereka setelah bencana merenggut sedemikian banyak kerabat mereka? Bagaimana pola strategi baru yang mesti disiapkan guna mengadopsi penemuan-penemuan baru di bidang teknologi terkait tiga bencana geologi ini?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang menggelayuti pedalaman kepala sekembali dari Aceh pada pertengahan 2007. Apalagi dalam kurun 2004 dan 2007, juga terjadi gempa dan tsunami di tempat lain di nusantara, yang semakin menorehkan luka mendalam.

Pada Agustus 2007, usulan ekspedisi Cincin Api (waktu itu masih menggunakan istilah Ring of Fire) disampaikan ke Dewan Redaksi Kompas. Namun, berbagai soal lain rupanya lebih menyita perhatian. Rencana itu terus tertunda. Hingga empat tahun kemudian, sepulang dari meliput bencana gempa dan tsunami yang menghancurkan Jepang pada awal 2011, usulan ekspedisi Cincin Api kembali dibuka.

Dewan Redaksi Kompas memberi ruang. Dua rekan sesama wartawan muda, Amir Sodikin dan Indira Permanasari, dan beberapa wartawan di daerah menemani perjalanan. Para wartawan senior seperti Maria Hartiningsih, Agnes Aristiarini, Ninok Leksono, Brigita Isworo, dan beberapa yang lain, mengawal substansi peliputan. Lalu, Kompas.Com dan KompasTV turut bergabung, melengkapi perspektif peliputan multimedia.

Nantikan liputan Ekspedisi Cincin Api tanggal 14 September 2011 di Harian Kompas, Kompas.com dan Kompas TV.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com