Nusantara selalu menjadi bagian penting perjalanan sejarah dunia, termasuk dalam Perang Dunia I. Meski Hindia Belanda bersikap netral dalam Perang Dunia I (1914- 1918), sejumlah artefak, seperti makam pelaut Angkatan Laut Perancis korban pertempuran antara
SMS Dresden adalah kapal penjelajah legendaris semasa PD I milik Kaiser penguasa Jerman. Dresden sendirian bertualang dari pangkalannya di Tsingtao (Mandarin: Qing Dao) yang ketika itu merupakan koloni Jerman di Tiongkok. Dresden mengarungi Laut China Selatan, perairan Nusantara, dan Samudra Hindia untuk menghancurkan kapal-kapal Sekutu: Inggris, Perancis, Jepang, serta Rusia.
Adapun Le Mousquet adalah kapal
Penulis sejarah Indonesia-Perancis, Kolonel (Purn) Jean Rocher, yang ditemui awal September 2011, menceritakan fakta menarik tentang peninggalan PD I berupa sepasang makam pelaut Perancis di Sabang yang terlupakan itu.
”Saya mendapat informasi tersebut dari tulisan pakar Indonesia di Paris, almarhum Denys Lombard,” kata Rocher yang baru saja meluncurkan buku
Rocher yang bertugas sebagai atase Pertahanan Perancis untuk Indonesia pada 1990-an menemukan lokasi yang disebutkan Lombard. Makam militer Perancis itu terletak di pemakaman Belanda di Sabang. Sepintas lalu bagi mata awam tidak ada yang berbeda antara makam itu dan makam Eropa lainnya.
Lebih lanjut Rocher dalam jurnal ilmiah
Tsingtao diserbu Jepang dan Sekutu. Pertahanan Jerman pun kocar-kacir. Emden sempat melarikan diri dan memulai teror terhadap Sekutu di lautan. Perairan Nusantara yang netral menjadi tempat untuk mengisi ulang pasokan logistik Emden.
Dalam buku
Serangan mematikan dilancarkan Emden pada 24 Oktober 1914 ke Pelabuhan Penang. Emden memasang satu cerobong asap tiruan sehingga dari jauh terlihat seperti kapal Sekutu. Emden yang menerobos Pelabuhan Penang menenggelamkan sejumlah kapal perang Inggris, Rusia, dan Perancis.
Komandan Emden Julius Lauterbach akhirnya berhadapan dengan
Penulis Jerman, Horst Geerken, yang juga menulis buku untuk Penerbit Buku Kompas, mengaku posisi Sabang memang strategis. Pemerintah Nazi pada PD II memerintahkan pembangunan stasiun radar ukuran besar untuk menjaga ujung utara Selat Malaka.
Sabang dibombardir Inggris dari pangkalan di India semasa PD II. Sebuah kapal perang Perancis, Richeliu, yang beroperasi di bawah komando Royal Navy dan dinamai HMS Richeliu, ikut membombardir Sabang.
Kembali ke PD I, makam pelaut Perancis itu diresmikan militer Perancis tahun 1922. Makam Perancis itu adalah bagian dari magnet wisata sejarah militer di Nusantara yang seharusnya dirawat untuk menarik wisatawan asing dan juga menjadi sarana diplomasi