Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ubud Lestarikan Konsep Bakti dan Asih

Kompas.com - 30/09/2011, 04:24 WIB

GIANYAR, KOMPAS.com--Masyarakat Desa Pakraman Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali, melestarikan konsep bakti dan asih dalam menjaga harmonisasi antarsesama.

"Konsep ini telah diwariskan oleh para leluhur kami dan berusaha kami lestarikan serta diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bhakti sebagai perwujudan rasa syukur kami kepada Tuhan, sedangkan asih wujud kasih sayang antarsesama dan lingkungan," kata Bendesa Desa Pakraman Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa, Kamis.

Menurut dia, walaupun Ubud bersentuhan dengan dunia pariwisata, nilai-nilai tradisi tetap menjadi dasar pijakan masyarakat Ubud dengan berlandaskan filosofi ajaran agama Hindu.

Kalangan "puri" (kelompok bangsawan Bali) dan masyarakat umum di Ubud, lanjut dia, juga masih melakoni fungsi sosialnya dan menjalankan kewajiban seperti yang digariskan para tetua adat.

"Kami saling mengisi satu sama lain sehingga harmonisasi dapat terbentuk dan meminimalkan terjadinya konflik. Untuk mengimplementasikannya, kami punya seni masing-masing. Tetapi yang penting dampak keluarannya, yaitu masyarakat merasa nyaman, terayomi, serta dekat dengan para pengurus adat," kata salah satu anggota Komisi IV DPRD Bali itu.

Ia menambahkan bahwa aturan tertulis atau "awig-awig" tetap sebagai landasan masyarakat adat dalam menjalankan kewajiban sebagai warga desa pakraman.

"Sedangkan aturan ’awig-awig’ yang lebih detail dan sifatnya bisa diubah sewaktu-waktu itu dijabarkan dalam aturan yang kami namakan ’perarem’. Dapat diubah, asalkan tidak bertentangan dengan nafas awal dalam ’awig-awig’," katanya.

Dengan demikian, lanjut dia, masyarakat dalam berperilaku tidak berdasarkan emosional dan keinginan sesaat dari sekelompok masyarakat maupun individu. "Untuk mewujudkan semuanya itu, memang diperlukan pengetahuan, pengalaman, dan kesungguhan komitmen," katanya.

Di sisi lain, pihak "prajuru" atau pimpinan adat rutin mengadakan pertemuan dan menjalin komunikasi dalam mencermati perkembangan yang terjadi di masyarakat, termasuk menangani persoalan penduduk pendatang.

"Penyelesaian kasus-kasus dalam masyarakat Ubud, selalu kami upayakan terlebih dahulu melalui rembug dan musyawarah mufakat," katanya.

Sementara itu, mengenai kewajiban warga desa di luar Ubud yang menjalankan usaha di wilayah Ubud, tidak dikenai menjalankan kewajiban adat. Mereka tidak dianggap sebagai warga tamu, tetapi layaknya keluarga sendiri. "Iuran yang dibebankan kepada mereka, tentunya masih dalam kategori yang masuk akal," kata Tjokorda.

Ia menambahkan, sejauh ini Desa Pakraman Ubud yang terdiri atas empat banjar, yakni Banjar Samban, Banjar Ubud Tengah, Banjar Ubud Kaja, dan Banjar Ubud Kelod belum sampai terjadi gesekan perebutan hak-hak ekonomi, walaupun daerah Ubud merupakan salah satu destinasi wisata di Pulau Dewata.

"Yang menjadi pemikiran kami saat ini adalah pengaturan kewajiban administrasi dan hak ketika terjadi alih fungsi lahan karena tak sedikit warga yang tinggal lintas batas desa. Ini harus diatur dan disepakati sejak awal agar jangan sampai menimbulkan konflik di kemudian hari," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com