Seperti juga Pasar Gede, Pasar Beringharjo di Yogyakarta memiliki riwayat ”menyatu” dengan sejarah Keraton Yogyakarta. Lahan di mana Pasar Beringharjo kini berada sudah dijadikan pasar oleh Sultan Hamengku Buwono I pada 1758. Pembangunan fisik pasar itu dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada 1925, sedangkan penyebutan Beringharjo diberikan Sultan Hamengku Buwono IX.
Pasar Beringharjo telah berulang kali dipugar dan diperluas. Sisa bangunan lamanya dapat ditemukan di bagian depan lantai satu. Namun, jejak ”berumur” itu tak bersisa di lantai dua dan tiga. Untuk naik ke lantai atas pasar ini, disediakan eskalator.
”Bangunannya sekarang sudah tidak lagi seperti pasar tradisional, tetapi cara berjualannya tidak modern benar karena pembeli tetap harus pintar menawar,” ujar Guru Besar Sosiologi UGM Tadjudin Noer Effendi.
Menurut Tadjudin, saat ini rasa memiliki masyarakat Yogyakarta terhadap pasar yang bernilai sejarah tinggi itu sudah merosot. ”Beringharjo seperti lebih untuk konsumsi turis yang ingin membeli batik atau cendera mata, bukan buat masyarakat Yogya sendiri,” ujarnya.
Tadjudin berpendapat, hal itu terjadi, selain karena fisik pasarnya ”bersalin rupa”, juga karena sebagian produk yang dijual tak lagi produksi Yogyakarta. Intinya, Beringharjo sedang beringsut memasuki era perubahan, tetapi gamang merumuskan dirinya sebagai pasar yang punya sejarah panjang.
Pasar Ikan
Jika Pasar Gede, Solo, terus menggeliat dan memperbarui ”sistem” kekerabatannya, Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara, nyaris tinggal puing. Pasar Ikan sekarang tinggal nama jalan, di mana ada bekas pelelangan ikan, gudang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), dan menara Syahbandar berlokasi.
Di Pasar Ikan, dahulu, tutur Rukiah (66), bekas pedagang ikan di era kejayaan Pasar Ikan, hampir sepanjang hari ramai. Rukiah menunjuk sebuah aula tempat ia pernah berjualan ikan sejak tahun 1965. ”Selain pedagang kecil, juga banyak bos yang suka ikut lelang ikan. Pokoknya ramai, apalagi hari Minggu,” katanya. Selain dari Jakarta, pembeli ikan bahkan berasal dari Bandung, Bogor, dan Bekasi.
Memasuki tahun 2000-an, kondisi berubah total. Nelayan memilih menjual ikan tangkapan mereka ke Muara Angke dan Muara Baru. Pada tahun 2005, bahkan aktivitas pasar ikan nyaris berhenti total. Bangunan seluas 1.000 meter persegi kini sunyi senyap ibarat puing-puing sejarah yang ditinggalkan.
Di sekitar Jalan Pasar Ikan kini tak ubahnya seperti pasar lain di wilayah-wilayah urban. Dipenuhi pedagang pangan dan sandang kebutuhan hidup sehari-hari. Tak ada yang istimewa kecuali bangunan-bangunan tinggalan zaman kolonial yang menjadi tanda peradaban aktivitas pelabuhan besar masa lalu.