Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa Setelah Pengakuan UNESCO?

Kompas.com - 23/11/2011, 02:19 WIB

Khusus tentang buku, bisakah kita menemukan sebuah perpustakaan terbaik di negeri ini yang memiliki koleksi informasi yang lengkap, baik koleksi tentang masa lalu maupun pengetahuan lengkap yang berkembang pada masa sekarang? Mohon maaf, menurut saya, tak satu pun perpustakaan di Indonesia yang bisa masuk dalam kategori ini.

Sekarang jika kita bicara warisan budaya dalam rupa candi, arsitektur tradisional, dan benda-benda budaya lain, apakah kita telah memiliki modal menjadi bangsa yang perawat tadi? Saya makin pesimistis melihatnya. Lihat saja Candi Borobudur yang katanya telah diakui sebagai warisan budaya dunia tadi.

Dengan segala maaf, terpaksa saya harus katakan bahwa di luar bangunan candi itu sendiri, apa beda kawasan itu dengan kawasan pasar malam? Rasanya tak ada. Untuk sebuah kawasan yang telah lama diakui sebagai warisan dunia, toh pemerintah entah pusat entah lokal terkesan tak peduli pada kondisi ketidaknyamanan para wisatawan.

Situasi berantakan, kurangnya informasi yang menarik, ketidakprofesionalan pengelolaan kawasan, dan lain-lain adalah kondisi riil yang kita lihat saat-saat ini. Itu baru bicara candi yang kita anggap terbesar di Indonesia. Bagaimana dengan kawasan candi lain yang skalanya lebih kecil? Kita mungkin makin miris melihat kondisinya. Kita bisa masukkan unsur museum dalam deret yang sama.

Buat saya, tak perlu dulu kita buru-buru mendaftar aneka warisan budaya sebagai warisan dunia kepada UNESCO sebelum kita bisa membuktikan bahwa kita bisa merawat aneka warisan budaya tersebut sebagaimana mestinya. Kita tunjukkan kesungguhan kita merawat dahulu. Itu jauh lebih penting ketimbang memegang status sebagai warisan budaya dunia, tetapi malah menipu para wisatawan dan kalangan terpelajar lain datang ke tempat-tempat tersebut.

Saya malah curiga: pengakuan yang dimintakan dari luar negeri ini apakah bukan usaha melepaskan diri dari tanggung jawab Pemerintah Indonesia merawat aneka warisan budaya itu kemudian melemparkan tanggung jawab kepada lembaga internasional seperti UNESCO? Jika ini pola pikirnya, sungguh sesat perbuatan tersebut.

Sejumlah aneka warisan budaya selalu menghadapi masalah: seberapa ia menjadi relevan untuk kondisi sekarang, bagaimana ia membuat kebutuhan akan adanya pelihat baru terus-menerus, bagaimana membuat warisan budaya ikut beradaptasi dalam kondisi yang terus berubah (kita kandangkan saja semua ini dalam istilah kondisi globalisasi, kondisi masyarakat digital), apakah ada orang-orang ahli yang memiliki kesadaran dan kemampuan memadai untuk mengelola aneka warisan itu?

Saya kaget ketika mendengar data bahwa pengelola museum di seluruh Indonesia kurang dari 10 persen yang berpengetahuan memadai atas urusan museum. Yang biasa terjadi adalah mutasi pejabat dari satu sektor ke sektor permuseuman karena yang bersangkutan menjelang pensiun, atau orang yang betul-betul buta ihwal museum (di sejumlah tempat permuseuman dikelola oleh mantan pejabat keuangan) dan kemudian yang dilakukannya pun tidak maksimal (bahkan sejumlah koleksi malah berpindah tangan secara komersial).

Di sinilah kita harus memperbanyak orang yang memiliki keahlian pengelolaan warisan budaya tersebut. Kehadiran ahli perpustakaan untuk mengelola aneka informasi dan karya ekspresi bangsa juga patut disejajarkan dalam semangat ini.

Apa motivasi perlombaan aneka budaya untuk didaftarkan tadi? Untung finansial secara langsung dengan mendapat bantuan perawatan warisan budaya tersebut? Bangsa yang bermartabat tak perlu minta bantuan perawatan ke tempat lain.

Ignatius Haryanto Peneliti, Direktur Eksekutif LSPP

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com