Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pesan Kebangsaan dari Pontianak hingga Bogor

Kompas.com - 07/02/2012, 04:56 WIB

Maka, dalam perayaan Cap Go Meh kali ini, misalnya, terlihat di belakang rombongan para pemain musik dan penari tradisional Dayak, menyusul kemudian rombongan penari Batak. Mereka unjuk kebolehan di hadapan sejumlah tamu undangan, seperti Wakil Gubernur Kalbar Christiandy Sanjaya dan Wali Kota Pontianak Sutarmidji, dan ribuan masyarakat di sekitar panggung kehormatan.

Pawai itu mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat Pontianak dan wisatawan. Tak kurang 5.000 warga Pontianak dari berbagai etnis dan wisatawan memadati Jalan Gajah Mada sejak beberapa jam sebelum pawai dimulai.

Christiandy Sanjaya mengungkapkan, keberagaman etnis merupakan modal dasar untuk membangun Kalimantan Barat. Sutarmidji mengatakan, Cap Go Meh akan menjadi agenda wisata tahunan Pontianak. Pernyataan senada dikemukakan Wali Kota Singkawang Hasan Karman yang menjadikan pawai tatung sebagai ikon wisata Singkawang.

Di Kota Solo, perayaan Cap Go Meh ditandai dengan bersih kota melalui kirab barongsai dan liong. Ada dua tempat ibadah (kelenteng) Tri Dharma di Solo yang menyelenggarakan acara ini, yakni Tien Kok Sie di Pasar Gede dan Poo An Kiong di Coyudan. Liong dan barongsai dari Tien Kok Sie dimainkan oleh kelompok Macan Putih dari Kelurahan Sudiroprajan. Anggota Macan Putih ternyata justru lebih banyak non-Tionghoa. Pengamat budaya Tionghoa, Aryanto Wong, melihat sajian lontong Cap Go Meh yang muncul pada perayaan ini hanya ditemukan di tanah Jawa, tidak di Kalimantan atau di Tiongkok. ”Saya menduga inilah akulturasi dengan budaya di Jawa, bakda kupat atau lebaran ketupat.”

Di Bogor, persaudaraan yang menghasilkan akulturasi budaya itu terlihat di Jalan Suryakencana, Senin. Dari Wihara Dhanagun hingga pertigaan Batu Tulis sepanjang 1,6 kilometer, belasan ribu orang memadati jalan, menyaksikan kirab liong dan barongsai serta joli (tandu) yang mengangkut kimsin (patung) dewa-dewa dari sejumlah kelenteng.

Bukan hanya itu, Komunitas Kampung Budaya Sindangbarang dari Tamansari, Kabupaten Bogor, menampilkan kebudayaan Sunda, seren taun. Lalu perguruan silat Persatuan Gerak Badan (PGB) Bangau Putih di Bogor juga menyuguhkan kielin, tarian mirip barongsai yang mengangkat citra hewan tunggangan dewa. Komunitas mahasiswa Papua di Bogor juga menyumbang dua tarian.

Setidaknya ada 2.000 orang yang terlibat dalam kirab, baik sebagai panitia maupun peserta kirab. Lebih dari separuhnya justru bukan etnis Tionghoa. Sebagian besar adalah pemain barongsai dan liong. Bahkan, pembuat liong dan barongsai yang banyak dipakai hari itu justru orang Sunda Bogor tulen, Lili Hambali namanya.

Selain itu, ada juga sekitar 70 anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) yang bertugas mengomunikasikan jarak antarjoli agar tidak terlalu jauh. ”Ini sukarela. Sama sekali tidak dibayar,” tutur Edi Kusmayadi (50), anggota RAPI Kota Bogor.

Menurut Jimmy, anggota PGB Bangau Putih yang juga dari bagian Humas Panitia Perayaan Cap Go Meh Bogor, kepanitiaan lintas etnis, budaya, dan agama bisa menyatu karena mereka memulai dari kebudayaan, sesuatu yang sifatnya netral dan bisa diterima semua pihak.

”Kalau mulai dari perbedaan agama, tidak akan ketemu.”

Bagi Jimmy, Cap Go Meh kali ini memberi sisi lain dari wajah Bogor, yang sejuk. Kota Bogor selama ini disorot lantaran sengketa izin mendirikan bangunan Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin yang tak kunjung beres.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com