Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waruga, Pemakaman Kuno Warga Minahasa

Kompas.com - 12/04/2012, 12:27 WIB

Di tempat itu, empat tahun sebelumnya ada seorang mantan Gubernur Maluku yang tewas bunuh diri dengan melompat ke arus. Warga mengatakan, aksi itu dilakukan karena ia dijangkiti penyakit kronis yang membuatnya tak ingin hidup. Mayatnya ditemukan keesokan harinya di sungai di bawah air terjun.

Cerita Wallace itu tak mengurangi kekaguman kami akan Danau Tondano yang permai. Hamparan danau dikelilingi pegunungan, padang alang-alang menghijau, dan persawahan dengan udara sejuk.

Di pinggiran danau kami santap masakan ikan nila bakar rica-rica, sambal ikan roa, dan sop ikan mujaer kuah asam. Setelah itu kami meluncur mengelilingi danau dan langsung tancap ke arah kota.

Sekitar 30 kilometer sebelum sampai di kota, kami sempatkan singgah di Desa Sawangan. Desa di pinggiran Sungai Tondano yang airnya jernih itu menyimpan pemakaman kuno warga Minahasa yang disebut Waruga.

Anton Jatunga, juru kunci makam mengatakan, Waruga  berasal dari bahasa Tonsea yaitu wale, yang artinya rumah dan maruga, artinya raga yang akan mati. Waruga adalah tradisi memakamkan sanak keluarga di dalam batu persegi panjang yang ditegakkan di halaman rumah.

“Batunya disebut batu dimato yang dipahat dan digotong utuh ke halaman rumah. Kalau melihat ukuran batu yang besar dan berat, orang-orang dulu badannya berukuran besar sekali, seperti juga terlihat dari gelang yang dikenakan,” tutur Anton.

Kami lanjutkan perjalanan menyusuri jalanan aspal mulus yang terus menurun. Saat memasuki kota Manado, Selasa (21/3/2012), matahari sudah mulai condong di sebelah barat. Sinarnya menghangati punggung yang basah oleh keringat ketika kami tiba di Bundaran Zero atau titik kilometer 0 dekat Pantai Bulevar.

Kesan pertama saya, Manado tak ubahnya kota besar yang tengah bersolek untuk disebut modern. Gambaran Wallace tentang keindahannya tinggal sedikit saja tersisa. Manado tak lagi sama.

Bangunan baru tumbuh memadat disela rumah-rumah lama di pinggiran kota. Di pusat kota, bangunan muncul semrawut, lalu lintas macet. Keindahan kawasan pantai bulevar  hanya ada di angan-angan. Proyek reklamasi dan pembangunan gedung yang penataannya campur aduk membuat kawasan pantai terkesan kumuh.

Di kafe pinggiran pantai, kami  rayakan akhir perjalanan dengan semangkuk besar kelapa muda dan bir dingin. Panorama mentari yang terbenam terhalang sebuah reklame besar yang dipasang tanpa estetika sama sekali.

Tanpa terasa sudah 1.255 kilometer kami berjalan. Waktu dua minggu menyusuri Sulawesi terasa amat kurang. Sekalipun begitu, saya merasa lega perjalanan impian ini  terwujud dengan penuh warna. Ini menjadi langkah awal untuk menemukan kembali Indonesia yang begitu indah dari atas sepeda. (Max Agung Pribadi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com