Cornelius Helmy
Namun, ia tidak mengurangi langkah cepatnya menuju rumah penyelenggara hajat yang berjarak dua kilometer dari kediamannya. ”Pisang hasil kebun sendiri mau diberikan untuk syukuran sunatan,” kata Tarwah.
Maman (35), warga Kampung Kuta lainnya, memilih membawa 20 kilogram beras meski panen tahun ini rusak akibat serangan hama. Ia hanya mendapat 5 kuintal gabah kering panen dari 100 bata. Padahal, sebelumnya ia bisa mendapat 7 kuintal per 100 bata. ”Walau merugi, warisan leluhur harus tetap terjaga,” katanya.
Tradisi itu dinamakan panyambungan. Panyambungan bukan sekadar sumbangan, melainkan utang yang harus dibalas bila ada hajatan lain. Bentuknya bisa uang tunai atau pangan. Jika sebuah keluarga melakukan hajatan, akan ada panitia khusus yang mencatat panyambungan.
Panitia khusus bisa tetangga atau anggota keluarga yang sudah diakui kejujurannya. Pencatat tinggal memindahkan daftar isi keranjang ke dalam buku besar dilengkapi dengan nama dan alamat pengirim. Nantinya buku besar itu menjadi buku abadi keluarga dan dibuka setiap tetangga melakukan hajatan.
Akan tetapi, apabila warga tidak mau hajatannya menjadi beban utang, mereka bisa mengumumkannya jauh-jauh hari. Biasanya disebutkan bahwa hajatan hanya untuk keluarga. Tetangga yang hadir tidak ”diwajibkan” membawa panyambungan, sebab nantinya tidak akan dibalas.
”Aturan tidak tertulis itu sekaligus sebagai kepedulian antarwarga yang diwariskan leluhur. Upacara adat bisa berjalan tanpa terkendala biaya,” kata Wakil Ketua Kampung Adat Kuta Sanmarno.
Kuta adalah kampung adat di ujung timur Jawa Barat. Masyarakatnya percaya sebagai keturunan terakhir Kerajaan Galuh. Wilayahnya seluas 97 hektar dengan jumlah penduduk 329 jiwa, dari 96 kepala keluarga. Mayoritas warganya berprofesi sebagai petani sawah tadah hujan dan pengambil nira.
Kampung adat yang berada sekitar 40 kilometer dari pusat kota Ciamis ini cukup sulit dicapai. Dengan kombinasi jalan aspal rusak, tanah becek, dan susunan batu kali besar, dibutuhkan waktu tempuh 2-3 jam perjalanan. Jalan rusak mendominasi hampir setengah perjalanan.
Kepedulian yang masih hidup, seperti yang diungkap Ulis Warsim (50), bisa menghemat sekitar Rp 20 juta untuk membangun rumah adat berbentuk panggung, berdinding tripleks, dan beratap sirap.
Alasannya, tenaga pembangunan dan beberapa material dibantu sekitar 100 warga Kuta lain tanpa dibayar. Dalam 10 hari, rumah berukuran 11 meter x 6 meter selesai dibangun. ”Jika dibangun sendirian, biaya bisa mencapai Rp 50 juta,” katanya.
Bukan hanya membangun, soal tata letak rumah juga menjadi kepedulian warga. Tarman (45) mengatakan, rumah dibangun simetris ke samping atau ke belakang dengan jumlah genap. Salah satu tujuannya agar ada pengawasan antarseorang pemilik rumah dengan tetangganya guna mencegah hal tertentu, antara lain bencana alam atau tindak kejahatan.
”Antarmasyarakat saling mengingatkan bila ada hal mencurigakan. Hingga kini, tidak ada rumah di Kampung Kuta yang kemalingan meski umumnya rumah tidak terkunci,” kata Tarman.
Pemerintah formal juga beradaptasi dengan sikap leluhur naga. Kepala Dusun Kuta Warman mengatakan, beberapa program seperti dasa wisma dan beas perelek terinspirasi dari semangat adat.
Dasa wisma adalah kelompok sosial beranggotakan tiap 10 rumah. Mereka rutin membersihkan kampung hingga pelayanan masyarakat.
Antropolog Universitas Padjadjaran, Budiawati Supangat, mengatakan, di tengah maraknya ketidakpedulian masyarakat, semangat adat di Kampung Kuta relevan dihidupkan.