Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Subak, Mahatradisi Petani Satukan Alam

Kompas.com - 03/07/2012, 05:31 WIB

Oleh Winarto Herusansono

Doni (9) dari Yogyakarta dan Chyntia (13) dari Kediri, Jawa Timur, amat gembira saat turut serta memanen padi di sepetak sawah milik Grace M Tarjoto. Grace adalah perintis pertanian modern di Gunungsari, Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. 

Dengan memakai caping, kedua anak itu turun ke sawah yang dipenuhi tanaman padi siap panen. Mereka datang bersama ratusan anak dan remaja dari sejumlah kota di Indonesia. Mereka tak hanya belajar memotong padi dengan ani-ani, tetapi juga mengikat batang padi hasil panen. Mereka belajar dari petani setempat mengenai harmonisasi hubungan petani, alam, dan Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan. Mereka juga mengenal sanggah pecatu di sawah, tempat prosesi persembahan sesaji.

Tanaman padi yang subur di Jatiluwih dipilih sebagai lokasi pengenalan sistem subak yang begitu terkenal di Bali. Kegiatan itu bertajuk World Heritage Education yang diikuti lebih dari 200 anak dan remaja, dimotori English First Indonesia serta Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) perwakilan Jakarta, pekan lalu.

Kegiatan itu seperti pembuka rangkaian sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di Saint Petersburg, Rusia, akhir pekan lalu. Dalam sidang itu, subak ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia. Menurut Wayan Windia, Ketua Grup Riset Sistem Subak Universitas Udayana (Unand), Bali, Senin (2/7), penetapan subak menjadi Situs Warisan Dunia memberikan citra baik untuk Bali sebagai pemilik lanskap budaya itu. Seiring dengan pengakuan dunia itu, pelestarian subak menjadi hal penting.

Tri Hita Karana

Kepala Unit Budaya Kantor UNESCO Jakarta Masanori Nagaoka mengemukakan, pelestarian subak sebagai lanskap budaya Bali tergantung upaya petani di Bali. Apalagi, subak memiliki kekuatan doktrin kosmologis yang unik, Tri Hita Karana. Warga Bali pun berjanji kepada dunia untuk melestarikan sistem subak kepada generasi penerus. ”Filosofi Tri Hita Karana atau tiga unsur sumber kebaikan adalah konsep hidup yang penting untuk diperkenalkan terus kepada generasi muda,” kata Masanori.

Ajakan kepada ratusan anak dan remaja dari sejumlah daerah untuk melihat subak adalah bagian dari pewarisan itu.

Dosen Unand, Wiwik Dharmiasih, menambahkan, subak adalah organisasi khusus warga yang mengatur sistem pengairan sawah untuk bercocok tanam di Bali. Dalam sistem ini, biasanya ada pura, yang dinamakan Pura Uluncarik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun bagi dewa kemakmuran dan kesuburan, Dewi Danu atau Dewi Sri. Walau spiritualitas masih kuat di Bali, pelestarian subak tetap menjadi tantangan.

Ketua Dewan Harian Pelestarian Warisan Budaya Bali I Wayan Alit Arthawiguna menambahkan, tiga matra Tri Hita Karana tak bisa dipisahkan. Jika satu berubah, harmoni dan kebersamaan akan terganggu.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com