Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Subak, Mahatradisi Petani Satukan Alam

Kompas.com - 03/07/2012, 05:31 WIB

Tiga matra itu terdiri dari pemujaan terhadap dewa (parahyangan), yakni setiap area sawah terdapat Pura Bedugul, pura untuk menunjukkan rasa terima kasih petani atas anugerah kesuburan kepada Dewi Sri. Ada unsur hubungan sesama manusia dalam wujud pawongan (perumahan). Setiap manusia harus percaya kepada sesama.

”Unsur ketiga, hubungan manusia dengan alam, yaitu tanah, alam, lingkungan, dan bumi sekitar. Subak mempunyai wilayah sawah yang berbatasan dengan sungai, jalan, pematang, dan alam yang harus dijaga bersama,” kata Arthawiguna.

Karena itu, penetapan subak sebagai Situs Warisan Dunia amat berarti guna mendorong pemerintah untuk turut melestarikan sistem itu. Petani membutuhkan perlindungan, peningkatan hasil panen, dan pelestarian lahan karena industri pariwisata di Bali berkembang.

Sawah irigasi teknis di tepi jalan, apalagi dekat vila, adalah lokasi yang mahal. Pajak lahan itu bisa mencapai Rp 7 juta per tahun, jumlah yang tidak sebanding dengan hasil panen padi petani. Apabila tak terlindungi, petani bisa tergiur untuk menyerahkan lahannya ke usaha non-pertanian lain.

Berarti ”suwak”

Menyaksikan lanskap budaya subak di Jatiluwih, sekitar 25 kilometer dari Tabanan, pengunjung akan menemukan penerapan doktrin kosmologis Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari warganya. Desa yang didiami 2.782 jiwa di kaki Gunung Batukaru itu memiliki tujuh subak, yang setiap kelompok beranggotakan 50-70 petani.

Persawahan berbentuk terasering melindungi lereng gunung dari erosi. Aliran air dari irigasi yang dibangun begitu jernih. Ikan berenang dan batu di dasar saluran dapat tertangkap pandangan mata karena tak terhalang keruhnya air.

Tokoh masyarakat adat Jatiluwih, I Gede Suweden, menambahkan, subak sebagai sistem irigasi diyakini sudah dikenal di Bali antara tahun 1071 dan 1150. Istilah ”subak” berasal dari kata suwak, yang berarti pengaturan air persawahan secara baik. Subak juga mengenal sanksi adat bagi petani yang melanggar, mencuri air, atau tidak taat pada musim tanam.

Filosofi Tri Hita Karana pun taat dijalankan petani dalam setiap tahapan menanam padi. ”Ritual dimulai sejak mengalirkan air ke petak sawah dengan ngendagin. Upacara ngawiwit atau ngurit digelar saat petani menabur benih di persemaian. Saat menanam diadakan upacara mamula atau newasen,” ujar Suweden. Ketika tanaman padi berusia satu bulan, ada upacara neduh untuk menolak hama. Saat padi mulai bunting, digelar ritual biukukung. Saat akan melakukan panen, petani menyelenggarakan upacara nyangket.

Kepala Desa Jatiluwih I Nengah Wirata mengakui, pengakuan UNESCO atas subak penting untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani di Bali. (COK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com