Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harmoni Hidup di Warung Lugu

Kompas.com - 13/07/2012, 06:54 WIB

Demi merawat sejarah hidup keluarganya, Tri juga menghidupkan kembali sajian es campur di warungnya. Tahun 1960-an, kedua orangtuanya sempat menjajakan es campur berkeliling Yogyakarta, sebelum akhirnya ”sukses” mendirikan warung brongkos.

Sumarwanto juga menjaga nasihat neneknya, Mbah Prapto yang mengawali keberadaan Gudeg Pawon. Eksotika Gudeg Pawon mendatangkan gelombang pelanggan mulai dari turis dari sejumlah kota hingga selebriti Jakarta. Walau kian ramai digandrungi, Sumarwanto enggan sedikit pun menambah kapasitas jualannya.

Setiap hari Sumarwanto mengolah kuantitas bahan baku yang sama: 20 ekor ayam, 250 butir telur, 10 kilogram nangka muda, dan 20 kilogram beras. Keengganan Sumarwanto tersebut bukanlah semata perilaku pasif yang enggan maju dalam perspektif modern. Melainkan ia berpegang pada filosofi ”eling”, demi terhindar dari hasrat serakah.

”Pengunjung ramai atau sepi, setiap hari kami selalu memasak sejumlah itu. Sejak awal nenek kami berpesan, dadi wong rasah sugih-sugih, rasah mlarat-mlarat. Sing penting cukup (jadi orang jangan terlalu kaya, jangan pula terlalu miskin. Yang penting cukup),” ujar Sumarwanto, menirukan nasihat Mbah Prapto.

Rongga perut rakyat kecil ini senantiasa paham makna sejati dari kata cukup -- bukan serakah. (CAN/SF)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com