Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perayaan Hidup Kedua di Toraja

Kompas.com - 13/07/2012, 19:13 WIB
Nurulloh

Penulis

Beberapa waktu lalu, Kompasiana dan Opera Indonesia mengadakan kompetisi ngeblog yang bertemakan wisata dalam Kompasiana-Opera Travel Blog Competititon. Ada sekitar 157 tulisan yang terhimpun di dalamnya dan terpilih 10  pemenang, di antaranya adalah cerita perjalanan di Tanah Toraja yang ditulis oleh Bayu Adi Persada, seorang blogger Kompasiana yang berhasil menjadi pemenang utama kompetisi ini dengan judul tulisan "Perayaan Hidup Kedua di Toraja".

Berikut perjalanan Bayu Adi Persada di tanah Toraja yang juga dipublikasikan di Kompasiana.com.

 

TIBA-TIBA ada suara ribut-ribut di halaman upacara. Orang-orang berteriak keras. Saya tersentak lalu beranjak mencari tahu apa yang terjadi. Saya semakin terkejut melihat seekor babi berlari tak tentu arah. Ternyata, babi yang akan dikorbankan terlepas dari ikatan di sebatang bambu. Dengan badan berdarah-darah, babi itu mencoba melepaskan diri dari kerumunan orang-orang.

Orang-orang di sekitar panik menyelamatkan diri naik ke rumah-rumah seketika itu juga. Untung saja tak berapa lama, situasi dapat dinetralisir. Babi mampu kembali ditangkap dan diikat. Itulah akhir perjuangan heroik dari seekor babi yang akan dikorbankan sebagai bagian dari ritual upacara pemakaman di Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

Saya sampai di terminal bis Lita di kota Makassar malam itu untuk melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja. Sempat takjub melihat wujud bis yang terlampau eksklusif. Serius. Saya sudah siap menumpang bis apa saja tapi ketika kemudian bis yang tersedia terlampau nyaman, saya merasakan rentetan keberuntungan dimulai. Harganya pun cukup murah, Rp 110.000 untuk delapan jam overnight trip ke Toraja. Kursinya nyaman, jarak antar kursi cukup luas. Bahkan ada wi-fi (Wireless Fidelity). Moda transportasi yang patut diadaptasi untuk bis antar provinsi di Jawa.

Perjalanan delapan jam pun jadi tak terasa. Yang saya tahu, tiba-tiba bis sudah berhenti pagi itu. Waktu masih menunjukkan pukul 5.00 pagi. Bis berhenti sebentar di depan penginapan. Saya masih tertidur pulas saat sang kernet membangunkan. Sejak awal, saya memang meminta sopir untuk menurunkan saya di penginapan murah yang juga menyediakan penyewaan motor.

Kernet bis tersebut mengantarkan saya ke Hotel Bison, hotel sederhana di dekat Jalan Raya Rantepao. Hanya 20 meter dari jalan raya. Meski cukup sederhana, hotel ini nyaman sekali. Harga per malamnya sangat terjangkau, Rp 150.000, dan mereka menyediakan motor untuk disewa seharga Rp 65.000 per hari tanpa bahan bakar.

Saya tidak punya kemewahan akan waktu hari itu dan harus memanfaatkan setiap menit untuk menjelajahi kota penuh kultur unik nan bersahaja ini. Sekitar pukul 7.00 pagi, saya pergi ke lobi hotel untuk mencari-cari informasi. Tak banyak informasi yang diberikan penjaga hotel ini.  Beruntung, saya bertemu John Rante, seorang guide yang rumahnya berdekatan dengan hotel.

Saya menyewa jasa Pak John sebagai guide seharian penuh. Harga jasanya pun cukup murah, sekitar Rp. 150.000, sudah termasuk bensin motornya. Sebenarnya tarif normalnya Rp. 250.000 belum termasuk ongkos bensin. Namun, karena memang bukan musim liburan, saya bisa mendapat tarif terbaik.

Destinasi pertama yang saya kunjungi adalah pesta pemakaman di Kecamatan Kete Kesu. Pestanya berlangsung cukup sederhana dibanding upacara pemakaman yang sering diberitakan memakan biaya sampai ratusan juta bahkan sampai miliaran rupiah. Keluarga yang berkabung kebetulan hanya keluarga petani.

Akan tetapi, mereka tetap harus mengorbankan tiga ekor tedong (kerbau) dan tiga ekor bai (babi) sebagai teman menuju dunia yang lain bagi yang sudah wafat. Meski sedikit hewan yang dikurbankan, biayanya bisa mencapai  puluhan bahkan ratusan juta rupiah—harga satu kerbau biasa dijual Rp 15-30 juta dan satu babi Rp 1-3 juta. Belum ditambah biaya lainnya.

Saya mencoba menelisik masuk ke dalam. Memberi salam pada keluarga yang berkabung, kemudian menuju dapur yang sedang ramai. Terdengar sampai luar suara ibu-ibu yang sedang ngerumpi dan suara goresan panci. Saya sempat mengabadikan aktifitas unik mereka, sambil menguyah sesuatu, entah apa, meminum kopi hitam Toraja, dan menanak nasi satu gentong.

Meskipun memandang saya asing, tetapi mereka sangat ramah. Tak lama kemudian, saya ditawari secangkir kopi dan kue-kue khas Toraja yang terbuat dari beras merah.

Pak John lalu menceritakan banyak hal tentang ritual pemakaman itu. Masyarakat Toraja menganggap ada dua kehidupan yang mesti dijalani. Sebelum dan setelah mati. Ketika mati, mereka harus diperlakukan istimewa demi kebahagiaan hidup setelah mati. Puya, adalah masa atau dunia setelah kematian untuk masyarakat Toraja. Hewan-hewan yang dikurbankan menjadi teman bagi yang wafat di Puya. Sebuah prosesi untuk meninggikan yang telah tiada.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com