Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perayaan Hidup Kedua di Toraja

Kompas.com - 13/07/2012, 19:13 WIB
Nurulloh

Penulis

Kemudian, saya mampir ke kuburan batu di Desa Lemo, Kecamatan Sanggalange. Dinamakan kuburan batu karena mayatnya dikuburkan di tebing-tebing batu. Selain dikuburkan di sana, dibuat juga replika orang dari kayu lengkap dengan baju adatnya.

Beberapa kuburan di sana masih baru. Terdapat juga pahatan-pahatan yang baru dibuat sebagai persiapan untuk tempat persemayaman terakhir orang-orang yang meninggal setelahnya.

“Walau terlihat kecil, sebenarnya lubang di dalamnya besar sekali. Bisa menampung beberapa mayat,” jelas Pak John, sambil menunjuk sebuah kuburan di tebing batu.

Setiap sisi tebing di bukit itu dipenuhi kuburan dengan replika dari kayu. Saya sempat mengelilingi tebing ke sisi-sisi yang berbeda dan selalu mendapati kuburan-kuburan batu yang lain. Menurut Pak John, semakin ke belakang dan tersembunyi, berarti kasta orang tersebut lebih rendah.

Di sekitar kompleks kuburan batu, banyak warga sekitar yang menjual kerajinan khas Toraja. Selain unik, harganya pun tidak terlalu mahal. Kain cantik buatan tangan sepanjang 2 meter misalnya, hanya dihargai Rp 60.000 - Rp 80.000. Patung-patung khas Toraja dengan bentuk pasangan orang tua diharga Rp 25.000 - Rp 60.000, tergantung ukuran.

Destinasi selanjutnya ke tempat pemakaman bayi atau Baby’s grave. Lokasinya hanya berupa pohon besar diselimuti sabut-sabut hitam sebagai penutup lubang tempat bayi-bayi dimakamkan. Pohon itu diperuntukkan bagi bayi yang meninggal di dalam kandungan atau berusia di bawah 6 bulan.

Dari sana, kami beranjak ke pasar tradisional di kampung Tokesan. Di sini, seperti banyak pasar tradisional lain, ramai penjual yang menjajakan berbagai macam dagangan, mulai dari kebutuhan sehari-hari, sampai daging babi juga ada. Pasarnya mulai dari pagi hingga siang menjelang sore.

Saya kembali terkagum-kagum saat sampai di kampung Bonoran di kecamatan Kete Kesu, lokasi rumah-rumah adat Tongkonan. Ada dua belas rumah khas Toraja berjejer rapi di kedua sisi. Atap rumah adat Tongkonan sekilas mirip tanduk kerbau.

“Bukan tanduk kerbau. Itu perahu,” kata Pak John mengoreksi. Menurut sejarah, nenek moyang orang Toraja dulu adalah pelaut. Ketika sampai di daratan, mereka membuat rumah dengan memanfaatkan perahu-perahu mereka. Di depan setiap rumah adat, hampir pasti selalu dipajang jejeran tanduk-tanduk kerbau yang telah dikurbankan. Lengkap dengan replika kepala kerbau dari kayu.

Dari salah satu rumah yang saya masuki, kondisinya sangat sederhana, hanya terdiri dari tiga ruangan, yaitu kamar tidur, ruang keluarga, dan ruang makan. Dapur, ruang makan, dan bahkan kamar mandi digabung menjadi satu di bagian tengah.

Saya sangat penasaran ketika Pak John mengajak saya ke kuburan yang disimpan di gua. Di tebing, di gunung, di pohon, sekarang di gua? Memang Toraja kaya akan budaya menghormati yang tiada. Sampai-sampai mereka rela bertaruh nyawa untuk memakamkan orang-orang yang mereka cintai di tempat yang mereka anggap terbaik.

Lokasi kuburan gua ini ada di daerah Londa, sebelah selatan Rantepao. Untuk melihat ke dalam gua, kita mesti menyewa lampu petromak seharga Rp 25.000. Masuk ke gua ini mesti hati-hati, jalanan agak terjal, sempit, dan licin. Salah-salah bisa terpeleset.

Di dalamnya masih terdapat mayat yang baru dikubur dua tahun lalu. Peti matinya masih utuh. Berbeda dengan banyak peti mati lainnya yang sudah rapuh dan berlubang sehingga tulang-belulang pun sampai terjulur keluar. Sesaji juga banyak sekali diberikan oleh warga yang berziarah, seperti rokok, bunga, air minum, atau buah-buahan. Semuanya diberikan sebagai bekal yang tiada di alam sana. Walaupun sesaji tersebut kian hari kian menumpuk, tidak ada yang berani mengambil atau sekedar membersihkan karena takut dihantui.

Naik beberapa anak tangga di sisi bukit dekat gua, Pak John menunjukkan ada kuburan tertinggi yang terletak hampir di puncak tebing terjal. Sudutnya hampir tegak lurus. Tak terbayang bagaimana orang-orang bisa sampai ke sana hanya untuk menguburkan mayat. Ceroboh sedikit bisa ikut menjadi mayat. Tapi itulah, kata Pak John, sebuah dedikasi. “Mereka yang berangkat ke atas memang harus ahli. Ke atas hanya dengan berbekal bambu sebagai penyangga, " katanya.

Semakin tinggi jabatan seseorang, maka semakin mewah pula jenazahnya. Seringkali dengan kain-kain mahal dan perhiasan. Oleh karena itu, biasanya jenazah orang-orang seperti itu diletakkan di tebing paling atas agar sulit dicapai orang lain.

Bagi masyarakat Toraja, kematian bukanlah sebuah akhir. Justru, kematian adalah gerbang menuju Puya, dunia yang baru. Dunia dimana arwah-arwah kembali menjalani hidup yang lain bersama dengan para hewan yang dikurbankan. Sungguh sebuah penghargaan yang tinggi pada kematian dan hidup setelah mati.

Itulah sekelumit kisah perjalanan saya di Toraja. Memang hanya sehari, tapi saya tak bisa melupakan setiap menit penelusuran budaya unik itu. Suatu hari saya pasti akan kembali untuk mencari tahu lebih banyak, dan menelusuri lebih dalam tentang kehidupan masyarakat Toraja yang bersahaja.

Seorang jurnalis dan penulis, Patricia Schultz, memasukkan Toraja dalam bukunya yang berjudul "1000 Places to See Before You Die". Kini, saya tahu mengapa dia berkata begitu. Dalam hati, saya mengangguk seraya setuju.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com