Oleh INGKI RINALDI dan ST SULARTO
Kabupaten Kepulauan Mentawai, daerah pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, 11 tahun lalu, masih tertatih-tatih. Diperparah oleh gempa bumi tahun 2007 dan tsunami tahun 2010, kabupaten berpenduduk sekitar 78.000 jiwa dengan letak geografis sebagai gugusan kepulauan terdepan Indonesia tersebut semakin tertinggal.
Kondisinya ibarat ironi bahari. Sebagai kabupaten kepulauan yang memiliki sekitar 60 pulau dengan Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan sebagai pulau utama, kendala terbesar kawasan ini adalah sarana transportasi. Laut dengan segala kekayaan dan tantangannya tampil lebih berkuasa.
Salah satu tantangan adalah jadwal kedatangan dan keberangkatan kapal yang tidak pernah bisa tepat karena badai laut yang muncul tiba-tiba. Misalnya, feri Ambu-ambu Telukbayur, Padang-Sikakap, Pagai Selatan, batal berlayar, Selasa (24/7) sore, karena badai laut. Padahal, feri itu segala-galanya bagi penduduk Sikakap, salah satu kota kecamatan di Mentawai. Tidak hanya setiap Rabu dini hari, penduduk bisa berkerumun di dermaga memperoleh hiburan, tetapi juga datangnya harapan hidup. Segala keperluan rumah tangga tiba, sebaliknya sore harinya, hasil bumi dan ternak terangkut ke Padang. Rabu pekan lalu, harapan itu pupus. Feri tak masuk, batal berangkat dari Telukbayur karena badai melanda.
Menurut Alimudin, warga Sikakap, waktu tenang Kepulauan Mentawai hanya satu bulan, sekitar bulan Mei-Juni. Pada bulan lainnya, badai sewaktu-waktu datang. Pada Juli-Agustus ini, Kepulauan Mentawai rawan badai. Feri penyeberangan, apalagi kapal nelayan, perlu jeli melihat kesempatan. Begitu laut terlihat tenang, melautlah. Begitu ada tanda badai, jangan melaut. Ikan pun, salah satu kekayaan Mentawai, sulit ditangkap.
”Dua minggu melaut hingga perairan Sibolga hanya dapat beberapa ekor,” kata seorang nelayan yang pagi itu kebetulan merapat di dermaga Sikakap. Menghadapi ketidakpastian laut, jargon romantis laut itu bukan kendala, tidak berlaku. Di Mentawai, laut memang menyediakan segalanya, tetapi juga kendala mobilitas, terutama menyangkut biaya transportasi.
Mempertimbangkan kelebihan dan kekurangannya, Bupati Kepulauan Mentawai Yudas Sabaggalet punya mimpi trans- Mentawai. Ya, trans-Mentawai! Sebuah sarana transportasi darat yang menghubungkan empat pulau utama. Tentu di antara keempat pulau itu ada sarana dermaga untuk penghubung. ”Jalan tembus niscaya membuka banyak hal. Distribusi hasil bumi, mobilitas manusia, sosialisasi budaya. Pendeknya, laut tak merupakan satu-satunya sarana transportasi,” kata Yudas, pekan lalu. Biaya proyek itu sekitar Rp 600 miliar dari APBN melalui program Pembangunan Percepatan Mentawai sudah disetujui.
Penasaran dengan mimpi Yudas, sengaja Kompas menempuh jalan darat, mungkin embrio trans-Mentawai, dua rute memakai sepeda motor. Rute pertama pada 23 Juli 2012, jalur Pinairuk-Sikakap. Rute kedua tanggal 24 Juli 2012, jalur Metudonga-Sikakap. Keduanya memakan waktu sekitar 2,5 jam dengan kecepatan 40 kilometer per jam pada sore hari. Dua rute itu bisa ditempuh dalam waktu hampir bersamaan dengan motor boat, mengarungi laut lepas Samudra Hindia.
Jalan selebar 1,5 meter pernah diperkeras dengan semen mengelupas di sana-sini. Jalan yang menerobos hutan itu tak hanya menampakkan keeksotisan bekas hutan primer yang lebat, tetapi juga keterpencilan dari hiruk pikuk manusia. Jalur Betumonga-Sikakap putus karena berlumpur di ruas Km 5 dan Km 10 sekitar setengah kilometer. Pinairuk-Sikakap relatif nyaman. Jalan setapak selebar 1,5 meter ini barangkali embrio dari trans-Mentawai.
Trans-Mentawai masih berwujud mimpi? Namun, jalan itu diyakini sebagai alternatif pertama untuk memajukan Mentawai. Sebaliknya, tidak dilupakan kekayaan laut Mentawai pun menawarkan kemewahan dan berkah. Keseharian Mentawai adalah kesenangan khas kepulauan.
Mentawai dikenal sebagai ”tanah suci” bagi peselancar dari seluruh dunia sekaligus keesotisan kehidupan penduduk asli Melayu tua di kawasan pedalaman. Nyaris sepanjang tahun, kata Yudas, ada 40 titik berselancar di seluruh wilayah kepulauan itu yang selalu ramai dikunjungi turis asing. Sepanjang 2010, sedikitnya 4.000 turis asing mengunjungi Mentawai. Mereka terutama berasal dari Australia, Amerika Serikat, dan Brasil.
”Pariwisata jadi andalan utama Kepulauan Mentawai,” kata Yudas. Namun, ia memperlihatkan ironi karena penghasilan daerah dari pariwisata nyaris tidak ada.
Mengapa? Karena, tidak ada aturan yang bisa diberlakukan untuk menarik pajak atau retribusi bagi wisatawan itu. Selama ini wisatawan cenderung datang dengan kapal sewaan, lalu membuang jangkar di perairan sejumlah pulau untuk berselancar. Setelah puas di satu titik, kapal dialihkan ke titik lain dengan cara serupa. Semua kebutuhan, termasuk makanan, sudah ada dalam kapal. Wisatawan tak perlu turun ke darat. Mereka tak bayar pajak apa pun.
”Berkah” itu tak hinggap sepeser pun bagi penduduk setempat. Hampir tidak ada dampak ekonomi yang diperoleh dari aktivitas pariwisata. Sebagai contoh, yang dialami warga Dusun Betumonga Barat, Desa Betumonga, Kecamatan Pagai Utara. Dusun itu berjarak sekitar 3 km dari Teluk Makaroni, yang menjadi salah satu lokasi favorit berselancar.
Kondisi itu seperti diutarakan Kepala Dusun Betumonga Barat Marinton Sakerebau (46). Padahal, sudah lebih dari 15 tahun kawasan itu ramai oleh aktivitas berselancar. Belum ada manfaat ekonomis yang diterima warga setempat.
Selain sarana transportasi, kata Yudas, faktor strategis lain yang dihadapi Mentawai adalah sumber daya manusia. Penduduk kabupaten itu kebanyakan masih tergolong miskin. Memang ada perkembangan membaik. Tahun 2009 tercatat 80 persen penduduknya miskin. Pada 2011, warga miskin tinggal 30 persen dari keseluruhan penduduk.
Sebagai bagian dari mempercepat kemajuan Mentawai, lebih dari 100 warga Mentawai dikirim ke Jawa, tugas belajar di sejumlah perguruan tinggi negeri. ”Setelah lulus mereka balik ke sini membangun Mentawai,” kata Yudas optimistis.
Asa Yudas itu masih panjang. Kini Kepulauan Mentawai masih menampilkan perhatian pada bahari dari semua pihak yang terlepas. Mentawai menjadi sebuah ironi wilayah bahari di negeri kepulauan ini.