Sebenarnya tak ada yang istimewa dari rumah kontrakan dengan tiga kamar di Dusun Biting II, Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, itu.
Lokasinya pun di belakang rumah lain. Untuk menuju rumah yang dikontrak selama dua tahun dengan harga Rp 3 juta itu, siapa pun harus melewati satu gang kecil lebih dulu. Namun, rumah tersebut bukan sembarang rumah.
Rumah sederhana itu merupakan tempat berkumpul sekaligus kantor bagi pemuda-pemudi yang tergabung dalam sejumlah organisasi pencinta sejarah Lumajang. Inilah Museum Sejarah Lumajang pertama di Kabupaten Lumajang, yang dibangun secara swadaya oleh kelompok-kelompok pemuda tersebut.
Disebut swadaya karena museum itu dirintis dan dibangun bersama-sama, dengan dana saweran kelompok pemuda tersebut. Mereka menamakan diri, Masyarakat Peduli Peninggalan Majapahit (MPPM) Timur, Komunitas Mahasiswa Peduli Lumajang, Masyarakat Wisata Kotaraja Lamajang, dan Organisasi Peduli Lingkungan Masyarakat Biting. Ada juga elemen lain yang ikut mendukung.
Sejak berdiri Mei 2011, Museum Sejarah Lumajang itu diisi sejumlah koleksi sejarah yang dikumpulkan anak-anak muda tersebut. Selanjutnya, barang-barang itu disimpan dalam satu-satunya etalase kaca yang dimiliki museum tersebut.
Pengunjung bisa melihat foto, kisah, dan silsilah Lumajang yang ditempel di dinding dalam ruangan yang sekaligus juga berfungsi sebagai ruang tamu museum dan kantor.
Koleksi di museum itu tercatat berjumlah 30-an keping. Ada keramik dari berbagai zaman yang ditemukan di Dusun Biting dan daerah Lumajang lainnya, potongan relung rumah,
Koleksi terakhir adalah batu lumpang. Batu ini diambil dari pinggir jalanan Biting. Batu lumpang itu disebut-sebut berasal dari zaman Megalitikum. ”Semua temuan merupakan peninggalan dari abad ke-12 hingga ke-17 Masehi,” kata Aries Purwantini, litbang MPPM Timur, akhir Oktober lalu.
Karena yang pertama, tak berlebihan jika Koordinator MPPM Timur Mansur Hidayat menyebut museum itu sebagai museum termegah di Lumajang. ”Soalnya, tak ada lagi museum lainnya,” ujar Mansur, yang juga koordinator museum tersebut.
Bagi Mansur, meskipun sederhana dan kecil, museum itu sangat membanggakan warga Lumajang. Dalam kompetisi antarmuseum se-Jawa Timur, belum lama ini, museum itu masuk peringkat ketujuh dari 48 peserta lomba museum.
Pengunjung museum tercatat juga cukup cukup banyak. Setiap minggu, setidaknya ada 3-4 lembaga pendidikan yang berkunjung. Total, seminggu ada 300-an siswa yang berkunjung.
”Kami ingin ada pengakuan dari pemerintah bahwa wilayah Biting adalah daerah bersejarah dan harus dilestarikan. Kami juga ingin Lumajang memiliki kebanggaan tersendiri. Dengan museum ini, kami bisa bercerita kepada orang, Lumajang juga memiliki sejarah masa lalu yang luar biasa,” ujar Tumpuk Haryono, warga Dusun Biting.
Semangat yang dimiliki pemuda dan warga Desa Biting boleh diacungi jempol. Namun, mereka masih harus berpikir lagi bagaimana mencari dana untuk melanjutkan kontrakan museum yang akan habis Mei 2013. Mereka memang bertekad meneruskan keberadaan museum tersebut demi kebanggaan dan pengetahuan warga Lumajang.
Namun, sungguh elok jika Pemerintah Kabupaten Lumajang tak tinggal diam saja. Mereka tentu harus turun tangan, dan bukankah warga sudah memulainya?
Kepala Bagian Humas Pemkab Lumajang Edi Hozaini mengatakan, sebenarnya, pemkab sudah berpikir membuat museum daerah sejak tahun 2000-an. Tempat sudah disiapkan di sekitar alun-alun untuk dijadikan museum. Namun, belum juga jadi. ”Karena belum sempat terealisasi, sudah ada pergantian pimpinan sehingga sampai kini rencana itu belum juga bisa diwujudkan,” ujar Edi.
Saat ini, pemkab masih fokus mengembangkan pariwisata. Ia berharap, setelah itu, museum baru direalisasi. Tampaknya, warga Lumajang masih harus bersabar.