Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memburu yang Lawas di Pasar

Kompas.com - 02/06/2013, 08:42 WIB

Sari sadar, kini makin banyak pemburu kuliner mendatangi pasar-pasar tradisional, memburu rasa. Ia tahu sejarah panjang yang terwakili kata ”generasi ketiga” bakal memikat orang untuk duduk di warungnya. Dan, setelah orangnya duduk, barulah Sari bisa ”memamerkan” kelezatan gado-gado racikannya.

”Haruslah. Kami ini sudah mencicipi pindah-pindah lokasi jualan, gara-gara pasar dibongkar atau ditata ulang,” kata Sari tertawa. Ia kini merasa nyaman mendapat jatah los persis di seberang los Ratengan Bu Warno, warung penjual empal, abon, dan aneka jeroan sapi yang pernah menjadi langganan Sultan Hamengku Buwono IX.

”Banyak pelanggan Ratengan Bu Warno makan gado-gado di sini. Bisa juga hanya membeli teh atau es buah. Banyak pelanggan saya berbelanja empal, abon, juga ratengan di Bu Warno,” tutur Sari.

Laba gula

Sejak masa Mataram Kuna, selain menjadi tempat memperdagangkan berbagai komoditas, pasar juga menjadi tempat interaksi sosial dan pertukaran informasi. Dengan beragam aktivitas itu, sejak masa itu para pedagang makanan siap saji telah memadati pasar, sebagaimana diurai dalam kitab Sumanasantaka yang ditulis Mpu Monaguna pada masa Kerajaan Kadiri, antara tahun 1042 dan 1222 Masehi.

Kitab itu melukiskan bagaimana orang-orang sibuk bekerja sejak dini hari mempersiapkan dagangan yang berupa makanan yang akan dibawa ke pasar. Mungkin juga di antara makanan yang telah matang itu terdapat berbagai jenis kue jajan pasar karena di dalam prasasti dikenal penganan jajan pasar, seperti dodol, waji, dan ketan (Titi Surti Nastiti, 2003).

Peneliti Pusat Kajian Makanan Tradisional Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Murdijati Gardjito, memperkirakan, pasar pada masa silam lebih banyak memperdagangkan ternak besar, seperti sapi atau kerbau; peralatan pertanian dari logam, serta umbi-umbian dan bumbu dapur dalam jumlah besar. Makanan siap santap tidak termasuk komoditas utama.

”Itu komoditas utama di pasar masa silam karena kebanyakan rakyat lebih mengandalkan sumber pangannya dari tanaman di pekarangan rumah masing-masing. Di masa itu, rakyat hanya mendatangi pasar jika ingin berbelanja ternak besar, membeli alat pertanian, atau bumbu.

Sejarawan muda, Heri Priyatmoko, menyebutkan, perkembangan warung di pasar tradisional di Surakarta dan Yogyakarta pesat terjadi saat kedua kota menikmati pertumbuhan ekonomi yang didongkrak industri perkebunan. ”Di Surakarta bermunculan tempat-tempat makan di kawasan Pasar Gede dan Keprabon, tempat yang menjadi poros pertumbuhan ekonomi kala itu. Warung yang dahulu jarang ada di pasar tradisional akhirnya bermunculan,” papar Heri.

Banyak orang meramalkan usia pasar tradisional tinggal menghitung hari karena terus digerus ritel kelas kakap. Akankah kenangan yang termuat dalam roti pukis Pasar Gede Solo, brongkos Warung Ijo Bu Padmo di Pasar Turi, Sleman, Yogyakarta, dan beratus warung pasar lainnya menawar ancaman itu?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com