Sampai tahun 1990-an, kali dan rawa di Jakarta menyediakan ikan liar dalam jumlah berlimpah, seperti gabus, tawes, baung, sili, mas, lele, belut, dan udang. Ada banyak teknik menangkap ikan yang digunakan orang Betawi, mulai dari mancing, neger, nyerok, ngurak, ngobor, ngebubu, nyetrum, sampai ngerogoh.
Firdaus (52) ingat betul, ketika remaja, hampir setiap hari dia ngurak (menangkap ikan dengan tuba) di kampungnya di Ujungmenteng, Cakung, Jakarta Timur. ”Sekali ngurak dapat ikan seember,” katanya.
Selain gabus, makhluk sungai yang mewarnai tradisi orang Betawi adalah buaya. Sosok buaya digunakan secara simbolis dalam bentuk roti buaya di acara perkawinan adat Betawi. Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi, mengatakan, roti buaya adalah simbol kesetiaan dan kekuatan alam.
Begitulah, sungai menjadi pusat bagi kehidupan orang Betawi, setidaknya sampai tahun 1990-an. Di situ pula pernah berkembang kepercayaan bahwa sungai dihuni oleh kekuatan magis, seperti buaya buntung, buaya putih, dan buaya merah. Untuk menghormati kekuatan yang ada di alam, orang Betawi tempo dulu punya tradisi ngancak atau mempersembahkan sajen. Sebuah tradisi yang menurut antropolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Dadi Darmadi, muncul jauh sebelum Islam datang, bahkan Hindu/Buddha.
Chaerudin, pelestari Kali Pesanggrahan, mengatakan, tradisi ngancak merupakan kearifan nenek moyang agar bisa hidup selaras dengan alam. Karena itu, sajen biasanya ditempatkan di dekat kedung sungai, kebun, dan mata air. Isinya, antara lain, bubur merah-bubur putih, telur ayam kampung, teh pahit-teh manis, kopi pahit-kopi manis, lisong, ayam bakar, dan menyan.
Pada momen-momen tertentu, masyarakat menanam kepala kerbau atau kambing sebagai wujud penghormatan kepada alam. Tradisi tersebut, kata Chaerudin, mulai hilang di daerah Pesanggrahan dan sekitarnya sejak tahun 1978. Yang tersisa tinggal sedekah Bumi. Semua makanan yang ada dipersembahkan kepada alam di persimpangan jalan, kebun, dan mata air. Selebihnya dimakan bersama-sama oleh warga.
Sejarawan dari Komunitas Bambu, JJ Rizal, berpendapat, gaya hidup yang bertumpu pada sungai dan sawah merupakan satu tahapan evolusi yang telah dijalani orang Betawi. Gaya hidup seperti itu memiliki akar yang jauh.
Peradaban Betawi sendiri dibangun di atas sebuah dataran hasil endapan lumpur yang digelontorkan dari pegunungan di selatan hingga muara. Tanah endapan lumpur itu makin lama makin luas ke daerah muara. Bentuknya seperti kipas yang dialiri kali-kali besar, seperti Cisadane, Angke, Ciliwung, Bekasi, dan Citarum. Di situ juga tercipta daerah-daerah basah dan berawa-rawa. Jadi, siapa pun yang bermukim di kawasan itu tampaknya tidak akan bisa menghindar dari sungai, rawa, sawah, dan tentu saja hutan.
Susan Blackburn dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) mengatakan, sejak zaman prasejarah, di mulut Kali Ciliwung telah ada permukiman manusia. Ini dibuktikan dengan temuan benda-benda arkeologis, seperti peralatan dari zaman Neolitikum, Perunggu, dan Besi.
Wilayah Kerajaan Tarumanegara yang ada pada abad ke-5 juga dibatasi dua kali, yakni Citarum di sebelah timur dan Cisadane di sebelah barat. Daerah selatannya dibatasi Kali Ciaruteun. Di wilayah itu mengalir sungai-sungai penting lainnya, seperti Ciliwung dan Bekasi.
Selanjutnya, pada abad ke-12, berdiri kota pelabuhan bernama Sunda Kelapa yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Pajajaran. Letak pelabuhan itu tidak persis di tepi pantai, tetapi menjorok masuk ke muara Ciliwung. Pelabuhan yang menjadi salah satu pemain penting dalam jaring perdagangan Nusantara itu direbut Fatahillah pada tahun 1527. Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Dia lantas membangun kota di tepi barat Kali Ciliwung.
Tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta dan membangun kota Batavia. Batavia awalnya hanya sebuah benteng di muara Ciliwung dan kota di tepi barat dan timur Ciliwung. Untuk mengendalikan banjir limpasan sungai dan rawa yang mengelilingi kota, Coen menata kota mirip kota tiruan Belanda yang berkanal-kanal dan berparit. Itu sebabnya, Batavia pernah mendapat julukan ”Venesia dari Timur” (Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal, 2010).
Di daerah datar dengan banyak cekungan basah inilah, berbagai etnis dan ras melebur menjadi apa yang kita sebut sekarang sebagai Betawi. (Budi Suwarna/Iwan Santosa/Ahmad Arif)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.