Tim Ekspedisi Sabang-Merauke: ”Kota dan Jejak Peradaban” Kompas duduk berteduh di bawah pohon di depan rumah Mei Maika (26). Kami menikmati kelapa muda sambil mendengarkan anak-anak sekolah dasar bernyanyi di teras rumah Maika, yang membantu mengajar di SD Negeri Uspisera di depan rumahnya.
Delapan anak-anak laki dan perempuan bernyanyi dengan riang. Liriknya kira-kira berbunyi, ”Ini Pulau Lirang ya bapa. Lirang manise. Kami senang tinggal di sini, ya, bapa. Meski kami jauh, ya, bapa. Jauh tinggal di pelosoke. Kami mohon dan berharap, ya, bapa, Jangan lupa kamie….”
Kami tertegun menyaksikannya karena terharu.
Dusun paling ujung di Desa Ustutun ini berbatasan dengan Timor Leste. Kapal Navigasi Bimasakti Utama yang kami tumpangi tidak bisa berlabuh karena tak ada dermaga. Kami pun menumpang sekoci kayu bermesin 40 pk menuju Pantai Manoha.
Dari pantai, kami mendaki bukit tempat dua patok batas Indonesia dan Timor Leste berada. Patok pertama setinggi 50 sentimeter dibuat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional. Patok kedua setinggi 2 meter dibangun Kodam Pattimura. Dari sini, kami menuju menara suar Lirang milik Kementerian Perhubungan.
Kami kembali berjalan kaki ke perkampungan melintasi padang rumput yang kering dan rumpun pohon lontar. Pengukur suhu kami menunjukkan 37 derajat celsius. Kepala Dusun Manoha Yopie Matena (41) bercerita, saat kemarau warga harus mencari ikan. Warga menukar ikan dengan bahan kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, dan gula kepada pedagang dari Dili, Timor Leste, yang datang dengan kapal. (MHF/HAM/OTW)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.