Melimpahnya hasil panen tersebut dirayakan bersama-sama. Mereka mengawali dengan berdoa, arak-arakan, kemudian ditutup dengan perang tomat sebagai simbol membuang segala keburukan. Hajat Bumi sudah berlangsung secara turun-temurun.
Perang tomat digelar sebagai ekspresi rasa syukur atas kemurahan alam. Hasil panen seperti sayur-mayur diarak diiringi musik dan kesenian tradisional. Warga menonton di sepanjang jalan kampung. Banyak juga yang berjoget.
Warga setempat boleh mengikuti perang dengan melemparkan tomat-tomat yang sudah disediakan. Hal itu diartikan sebagai penolakan atas sistem dagang tengkulak yang seenaknya mempermainkan harga.
Tomat, misalnya, saat ini terpuruk hingga Rp 700 per kilogram dari harga terbaik yang mereka capai, yakni Rp 5.000 per kilogram. (Rony Ariyanto Nugroho)