Belum lagi ikan pepes daun empruk, pumni (sejenis sayur labu, umbut rotan, dan ikan baung), buras (lontong beras ditambah ikan gabus berkuah). Aroma pedas menguar dari sambal lumatan jaung (kecombrang), umbut rotan (pokok batang rotan muda), berbalur dengan wangi bawang merah, bawang rambut, cabai, dan ikan salai. Semua menebarkan aroma khas kecombrang dan cabai, menggugah rasa lapar di tengah keriuhan dalam lamin itu.
Makin memantik penasaran ketika Wakil Bupati Kutai Barat Didik Effendi bercerita tentang nasi sobot—nasi berbahan beras ladang berimbuh singkong dan dimasak dalam bungkusan daun gebok—yang ada di sana. ”Setiap memasak nasi sobot, orangtua kami selalu bilang rasanya lebih enak. Padahal, waktu itu beras sulit, ha-ha-ha,” kata Didik di sela-sela perjamuan itu.
Aah, begitu lidah mengecap nasi sobot dan sambal ikan salai itu, rasa segar dari jaung berpadu rasa pahit lembut dari umbut rotan, tak bisa berhenti kita melahapnya. Saat mencicipi bina’k, yummm, kuahnya padu memilin rasa asam dari terung asam dan buah lakum’p yang unik dengan rasa pedas cabai dan bawang putih. Lakum’p, buah ungu dari sejenis pohon rambat yang tumbuh menyemak di sepanjang aliran Mahakam, punya rasa asam dan sepat yang khas.
Helmyana Rosanti Aminuddin, Ketua Dharma Wanita Persatuan Kutai Barat, sang empunya hajat perjamuan, tersenyum dengan kegirangan saat orang bersantap ikan bina’k. ”Ini masakan khusus yang biasanya hanya disajikan dalam acara-acara pernikahan di suku Dayak,” bisik Helmyana.
Rupanya, kuah yang memesona lidah itu sari pati dari beragam bumbu. Bina’k diramu dari ikan patin bersama jahe, kunyit, bawang putih, bawang merah, serai, terung asam berikut buah lakum’p dan bawang rambut dimasukkan ke buku bambu sepanjang 50-60 sentimeter, lalu ditutup dengan daun kecombrang. Panggangan bara api selama paling sedikit enam jam membuat sari pati daging ikan dan beragam bumbu itu berpadu menjadi kuah lezat bina’k.
Lain lagi dengan cita rasa ikan jelawat bakar daun emperum’k yang dimasak dari ikan jelawat ”raksasa” itu. ”Ini kita pilihkan yang tidak terlalu besar,” kata Lilik Hermanudin, pengurus Dharma Wanita Persatuan Kutai Barat, yang menjadi juru masak beragam masakan ikan sungai itu. Konon, ikan jelawat disebut besar kalau bobotnya mencapai puluhan kilogram, waah….
Jelawat bakar dengan siraman daun emperum’k, ini menu kreasi baru, disajikan dengan taburan irisan bawang merah dan cabai. Rasa asamnya yang menyegarkan itu pun perpaduan beragam bumbu lokal Kutai Barat.
Begitu pula hidangan penutupnya, bubur jagaq, yang berupa bubur biji-bijian sejenis rumput ilalang yang ditanam di sela-sela padi di ladang. Diimbuhi gula aren dan santan, sajian bubur jagaq menyerupai bubur merah di Jawa. Hal berbeda adalah sensasi rasanya yang kesat, dengan buliran bijinya yang disaring kasar sehingga meninggalkan rasa berpasir.
”Dulu, jagaq menjadi makanan pokok masyarakat Dayak apabila panen padi ladang gagal. Jagaq memang biasanya dipanen setelah panen padi ladang usai. Kini jagaq semakin jarang ditanam bersama padi karena jagaq hanya bisa ditanam satu kali dalam setahun. Kami kini berusaha membuat kebun tersendiri untuk menanam jagaq,” kata Helmyana.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.