Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Gajah Mada sampai Wali Songo di Tanah Mbojo

Kompas.com - 13/12/2013, 17:54 WIB
Oleh: Gatot Widakdo

SEBAGIAN orang Bima percaya, Gajah Mada sebetulnya juga orang Bima. Bagi awam, ini keyakinan yang agak janggal. Apa mungkin kerajaan Jawa Majapahit mau mengangkat seorang ”asing” sebagai mahapatih alias panglima perangnya?

Gajah Mada adalah tokoh yang hidup pada abad ke-14, masa hubungan antar-etnis di Nusantara pastinya belum seakrab sekarang. Untuk ukuran masa itu, Bima merupakan daerah yang letaknya relatif jauh dari pusat Kerajaan Majapahit di Kediri, Jawa Timur.

Memang, bukannya tak mungkin Gajah Mada orang Bima. ”Jejak-jejak” masa silam yang diduga berhubungan dengan Sang Mahapatih terserak di berbagai tempat di ujung timur Pulau Sumbawa itu.

”Kata orang, kuburan Gajah Mada ada di daerah Donggo,” ujar perempuan tokoh masyarakat dan peneliti sejarah Bima, Siti Maryam Rachmat (86), yang beberapa waktu lalu ditemui di rumahnya di Kota Bima. Donggo adalah daerah kecamatan yang berada di antara kaki-kaki Gunung Salunga dan Gunung Soromandi (4.775 meter di atas permukaan laut), gunung tertinggi di wilayah Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, sekarang.

Siti Maryam (86) menambahkan, sampai awal zaman kemerdekaan, kuburan itu masih sering ”diupacarai” masyarakat sekitar. ”Tempat yang diduga makam itu juga sudah sering diteliti para ahli, termasuk oleh arkeolog dari Universitas Indonesia, tapi saya belum pernah mendengar hasilnya,” tambahnya.

Seorang warga Sumbawa lain yang juga penggemar sejarah menulis, di Donggo, tepatnya di Desa Padende, terdapat dua peninggalan purbakala. Pertama, batu berbentuk lesung yang oleh masyarakat sekitar disebut Wadu Nocu (Batu Lesung). Yang kedua, apa yang disebut Tolo Wadu Tunti (Sawah Batu Tulis), sawah di mana ada batu bertulis.

Di situs yang disebut terakhir terdapat sejumlah arca purbakala seperti yang biasa ditemukan di Jawa. ”Ada patung Dewa Syiwa berdiri sendirian dengan patung dua pengiringnya yang berada di sebelah selatan,” kata Katiano Gamesa dalam situs blognya.

Masih menurut Katiano, masyarakat setempat meyakini Wadu Nocu merupakan lokasi kuburan Gajah Mada. Keyakinan ini diwariskan turun-temurun lewat cerita oleh keluarga penjaga kuburan. Keyakinan semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa kuburan Gajah Mada tidak pernah ditemukan di Jawa dan bahwa dalam kitab Jawa Kuno Pararaton ada disebutkan, di akhir masa hidupnya Patih Gajah Mada pergi meninggalkan Keraton Majapahit ke arah timur.

Keberadaan Gajah Mada di Bima juga terekam dalam Nagarakartagama (1364), kitab kuno gubahan Mpu Prapanca yang sohor itu. Seperti dikutip Muhammad Yamin dalam bukunya Gajah Mada Pahlawan Pemersatu Nusantara, di buku yang ditulis dalam bahasa Kawi itu disebutkan bahwa Gajah Mada melakukan perjalanan ke berbagai daerah yang ada di sebelah timur Pulau Jawa, termasuk daerah-daerah di Pulau Sumbawa, seperti Taliwang, Dompo (Dompu), Sapi, Sanghyang Api (Pulau Sengeang), dan juga Bima.

Sementara kebenaran Gajah Mada sebagai putra daerah Bima masih bisa diperdebatkan, ada bukti-bukti yang jauh lebih kuat yang menunjukkan bahwa Bima pada mulanya memang kerajaan lokal bentukan Majapahit, yang di zamannya merupakan sebuah negara adidaya Nusantara.

Tulisan-tulisan sejarah purbakala Bima sering menyebutkan, Kerajaan Bima—yang kemudian jadi Kesultanan Bima—didirikan setelah Gajah Mada mendarat di sana dalam pelayaran ekspedisi untuk menyatukan Nusantara, sesuai Sumpah Palapa yang diikrarkan Gajah Mada di hadapan Ratu Tribhuwana Tunggadewi saat ia diangkat menjadi mahapatih pada tahun 1334.

Nama Kerajaan Bima konon diambil dari nama rajanya yang pertama, Bima, yang berasal dari Majapahit. Raja ini memiliki dua anak laki-laki, Indra Zamrud dan Indra Kumala. Sebagai anak pertama, Indra Zamrud kemudian dinobatkan sebagai raja berikutnya. Ia terus menetap di Bima, sedangkan Sang Ayah kembali pulang ke Jawa.

Dua anak laki-laki itu didapat Bima setelah ia memperistri perempuan setempat. Mungkin karena itu orang Bima hingga kini juga biasa menyebut daerah mereka sebagai Mbojo, nama yang berasal dari kata Jawa ”bojo”, yang berarti ”istri”.

Bersama sejumlah situs purbakala lain dari zaman Hindu yang juga ditemukan di Bima, Wadu Nocu dan Tolo Wadu Tunti bisa jadi merupakan sisa-sisa candi peninggalan peradaban Hindu, yang masuk ke Pulau Sumbawa bersama kedatangan Gajah Mada dan bala tentara Majapahit pada tahun 1377, di masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk.

Jejak Islam

Angin perubahan berembus di Bima sekitar tiga abad setelah kedatangan Gajah Mada dan peradaban Hindu di sana. Seperti tertulis dalam salah satu bo atau kitab catatan kerajaan, pada tahun 1640 Ruma Ta Ma Bata Wadu, Raja Bima ke-27, menikah dengan perempuan bernama Daeng Sikontu, adik istri Sultan Makassar Alauddin yang Islam.

”Karena perkawinan itu, Sang Raja memeluk agama Islam. Ia pun mengganti gelar dan nama menjadi Sultan Abdul Kahir. Ialah raja Bima pertama yang beragama Islam,” ujar Siti Maryam. Seiring dengan itu, Kerajaan Bima pun berganti sebutan menjadi Kesultanan Bima dengan Abdul Kahir sebagai sultan pertamanya.

Meski pengaruh Islam sudah masuk Bima sejak pertengahan abad ke-16 dan rajanya pun sudah memeluk agama itu, Bima baru resmi menjadi kesultanan Islam setelah Sultan Abdul Kahir meninggal dunia dan digantikan oleh putranya, Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Pada masa pemerintahan Sultan Bima II inilah (1635-1681), adat dan hukum Islam mulai diberlakukan secara umum. Hal ini berlangsung sampai masa pemerintahan Sultan Ibrahim, Sultan Bima XIII (1881-1915).

Setelah diakhirinya pemberlakuan syariat Islam, pengaruh Islam di Bima tak ikut surut. Siti Maryam menceritakan bagaimana Sultan Bima XIV, Sultan Salahuddin (1915-1951), tetap memiliki perhatian besar terhadap pendidikan Islam dengan mendirikan sekolah menengah Islam tingkat pertama dan atas. ”Sultan juga pernah mengirim para pemuda Bima ke Mekkah, Arab Saudi, untuk lebih mendalami ajaran Islam,” papar Siti Maryam, yang juga putri Sultan Bima terakhir.

”Menurut Tome Pires yang berkunjung ke Bima pada tahun 1513 Masehi, pada masa itu pelabuhan Bima ramai dikunjungi pedagang Nusantara. Pedagang Bima pun sudah berlayar menjual barang dagangannya ke Ternate, Banda, dan Malaka, serta singgah di setiap pelabuhan di Nusantara. Pada saat inilah, kemungkinan para pedagang Demak datang ke Bima, selain berdagang juga untuk menyiarkan agama Islam,” kata sejarawan dan Indonesianis Prancis Henry Chambert-Loir dalam bukunya, Bima dalam Sastra dan Sejarah.

Salah satu jejak peradaban Islam di Bima adalah Masjid Kesultanan Bima yang terletak di pusat Kota Bima. Masjid berusia tiga abad yang masih berdiri kokoh di tepi alun-alun kota, yang disebut warga setempat sebagai Lapangan Sera Suba, itu dibangun oleh Sultan Abdul Kadim Muhammad Syah, Sultan Bima VII, pada tahun 1737. Pembangunan selanjutnya dilakukan oleh putranya, Sultan Abdul Hamid, yang mengubah bentuk atap rumah ibadah itu menjadi atap bersusun tiga, mirip atap Masjid Menara Kudus di Jawa Tengah.

”Pada masa Perang Dunia II, masjid itu hancur akibat pengeboman pasukan Sekutu, tetapi kemudian dipugar oleh Sultan Muhammad Salahuddin, sultan Bima terakhir,” kata seorang warga Kota Bima. Karena itu, kini masjid itu dinamai Masjid Sultan Muhammad Salahuddin.

Tumbuh suburnya peradaban Islam di Bima terkait dengan adanya hubungan-hubungan kekerabatan, diplomatik, dan perdagangan antara kesultanan itu dengan kesultanan-kesultanan Islam lain di Kepulauan Nusantara, termasuk dengan kesultanan-kesultanan di Sulawesi Selatan. Konon, pada abad ke-16 Bima sudah menjadi salah satu pelabuhan dagang yang ramai di wilayah timur Nusantara.

Kalau begitu, bukan tak mungkin, di antara para pedagang Demak yang datang ke Bima untuk sekalian menyebarkan Islam itu ada juga para pembantu Sunan Kudus atau sunan lainnya dalam jajaran Wali Songo. (Mulyawan Karim/Samuel Oktora/Gatot Widakdo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

8 Tips Berwisata Alam di Air Terjun Saat Musim Hujan

8 Tips Berwisata Alam di Air Terjun Saat Musim Hujan

Travel Tips
Jakarta Tourist Pass Dirilis Juni 2024, Bisa Naik Kendaraan Umum Gratis

Jakarta Tourist Pass Dirilis Juni 2024, Bisa Naik Kendaraan Umum Gratis

Travel Update
Daftar 17 Bandara di Indonesia yang Dicabut Status Internasionalnya

Daftar 17 Bandara di Indonesia yang Dicabut Status Internasionalnya

Travel Update
Meski Mahal, Transportasi Mewah Berpotensi Dorong Sektor Pariwisata

Meski Mahal, Transportasi Mewah Berpotensi Dorong Sektor Pariwisata

Travel Update
Jakarta Tetap Jadi Pusat MICE meski Tak Lagi Jadi Ibu Kota

Jakarta Tetap Jadi Pusat MICE meski Tak Lagi Jadi Ibu Kota

Travel Update
Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com