Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencari Jejak Kehidupan di Situs Gunung Padang

Kompas.com - 15/06/2014, 09:20 WIB

Tak sedikit orang menyepi di sana pada malam hari. Sayangnya, beberapa berusaha membawa pulang batu dari sana. ”Itu yang kami awasi, jangan ada yang pulang bawa batu,” kata Cecep.

Karena mitos pula terpaksa batu ukuran sepelukan orang dewasa setinggi kira-kira 50 sentimeter dipindahkan ke satu-satunya warung di tepi situs. Batu itu sudah beberapa kali mengambil korban kaki pengunjung. ”Ada yang sampai patah kaki. Mereka percaya kesaktian akan meningkat kalau bisa ngangkat batu yang beratnya ratusan kilo itu,” papar Cecep.

Secara ilmiah, Gunung Padang masih dalam penelitian Tim Terpadu Riset Mandiri. Ali Akbar dalam percakapan dengan Kompas beberapa waktu lalu mengatakan, penelitian harus terus dilakukan untuk mengungkap kebudayaan apa yang membentuk Gunung Padang. Tidak terdapat peninggalan lain di sekitar lokasi yang dapat menjadi petunjuk, misalnya, bekas tempat tinggal atau makam. Gunung Padang sendiri lebih terlihat sebagai tempat melakukan ritual daripada tempat tinggal.

Mengubah kehidupan

Menurut situs internet Pemkab Cianjur, Gunung Padang pertama kali muncul dalam laporan Rapporten van de Oudheid-kundigen Dienst (ROD) tahun 1914. Peneliti Belanda, NJ Krom, yang kabarnya ingin mencari emas, melaporkan temuan itu pada tahun 1949.

Tahun 1979 beberapa penduduk melaporkan kembali keberadaan Gunung Padang kepada pemerintah. Pada tahun 1998, pemerintah menetapkan situs ini sebagai cagar budaya melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Meski setelah itu situs ini menjadi lokasi wisata, perhatian masyarakat baru muncul setelah ada penelitian Tim Katastropik Purba tahun 2011 dan disusul TTRM sejak 2012.

Gunung Padang sedikit banyak mengubah kehidupan warga sekitar yang sebagian besar bertani. Warung makan bermunculan menjelang masuk kawasan situs. Penyewaan ojek tumbuh, begitu juga jasa memandu wisata. Dadi bahkan membuka tempat menginap sederhana dengan sewa Rp 20.000-Rp 60.000 per malam per orang. Apabila ingin disiapkan makan, tambah Rp 15.000 lagi.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO Sejumlah warga bermain di sekitar mulut terowongan jalur kereta api di Lampegan, Cibeber, Cianjur, Jawa Barat, jalur penghubung kereta api Cianjur Sukabumi, Senin (7/4/2014). Terowongan tertua di Indonesia dengan panjang 686 meter ini dibangun tahun 1879-1882 oleh Staats Spoorwegen, perusahaan kereta api masa Hindia Belanda.
Untuk mencapai Gunung Padang, sebaiknya membawa kendaraan sendiri. Situs ini berada di Kampung Gunung Padang dan Kampung Panggulan, Desa Karyamukti, Kecamatan Campaka. Dari Kota Cianjur, berjalan 50 kilometer ke arah Kota Sukabumi dan di sisi kiri akan terlihat papan petunjuk menuju situs.

Masih 20 kilometer dari jalan raya sebelum tiba di Gunung Padang. Jalanan terus menanjak dan di kiri-kanan kebun teh memberi pemandangan berganti-ganti dengan kampung penduduk.

Sekitar 8 kilometer menjelang situs, ada stasiun kereta api Lampegan. Jalur itu menghubungkan Cianjur-Sukabumi. Sempatkan mampir di stasiun kecil, tetapi apik itu untuk menikmati pemandangan terowongan tua buatan tahun 1882 sejarak 500 meter dari stasiun. Kehidupan terasa berhenti di sana. (Ninuk Mardiana Pambudy)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com