Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pasar Malam Sentiling, Berkaca pada Kejayaan Semarang Masa Lalu

Kompas.com - 22/09/2014, 14:23 WIB
TEPAT 100 tahun lalu, tahun 1914, di Kota Semarang, Jawa Tengah, terselenggara sebuah perhelatan akbar berskala internasional, Koloniale Tentoonstelling, yang oleh penduduk pribumi disebut Pasar Malam Sentiling. Momen itu menjadi salah satu bukti bahwa Semarang pernah menjadi kota yang penting.

Jongkie Tio dalam bukunya, "Kota Semarang Dalam Kenangan", menulis, tentoonstelling atau pameran itu diadakan di lahan seluas 26 hektar dari Randusari hingga kaki Bukit Candi, dan juga di Pieter Sythofflaan (kini Jalan Pandanaran). Pameran tersebut diikuti sejumlah negara, seperti Jepang, China, Australia, beberapa negara Eropa dan Asia,
serta negara jajahan Belanda. Terdapat paling tidak 200 bangunan besar dan kecil dalam pameran yang berlangsung sejak 20 Agustus hingga 22 November 1914 itu.

Pameran tersebut sebenarnya diadakan Belanda untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Kerajaan Belanda dari kekuasaan Perancis. Belanda ingin menunjukkan pencapaiannya atas daerah-daerah jajahannya. Ajang itu mirip dengan konsep MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) di masa kini.

Kini, Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Semarang, Oen’s Foundation, bersama Pemerintah Kota Semarang dan Pemerintah Provinsi Jateng menyelenggarakan Pasar Malam Sentiling 2014 sejak Jumat (19/9/2014) hingga Minggu (21/9/2014) untuk mengingat kembali kejayaan Kota Semarang pada masa lalu. Tahun ini adalah tahun ketiga Festival Kota Lama bertajuk Pasar Malam Sentiling yang diadakan di kawasan Kota Lama.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Pasar Malam Sentiling menghadirkan suasana masa lalu di kota lama. Festival berlangsung di lorong-lorong kota lama di sekitar Gereja Blenduk dan terbagi atas dua kawasan, yaitu Kampoeng Belanda dan Kampoeng Jawa. Kawasan itu menghadirkan suasana Belanda dan Jawa lengkap dengan kostum, budaya, dan makanan khas Semarang.

Selain itu, terdapat paviliun De Vrouw yang berlokasi di Galeri Semarang. De Vrouw menampilkan sejarah Koloniale Tentoonstelling serta memaknai peran dan aktivitas para perempuan dalam konteks budaya pada masa kuno, kini dan nanti. Secara khusus, tokoh perempuan Semarang dan Jawa Tengah dihadirkan dalam foto dan narasi tentang siapa dan peran mereka, yaitu RA Kartini, Nyonya Meneer, NH Dhini, Anne Avantie, Sri Mulyani, hingga Mari Elka Pangestu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang ibunya berasal dari Kota Semarang. Anne Avantie dan Mari hadir dalam acara itu.

Ada pula pameran mengenai sejarah kereta api di Semarang, juga berbagai barang antik dan permainan masa lalu. Beberapa panggung menghadirkan musik dan pertunjukan sesuai tema kawasan. Pengunjung juga harus bertransaksi dengan mata uang kuno yang telah disiapkan. Selain dapat menikmati suasana, pengunjung juga dapat mengetahui mengenai sejarah Pasar Malam Sentiling dan bagaimana pentingnya Kota Semarang pada masa lalu. Pengunjung pun antusias menikmati suasana itu.

Memelihara memori

Festival ini diadakan untuk menghidupkan Kota Lama Semarang yang masih bergelut dengan rob dan banjir. Selain itu juga untuk memelihara memori masa lalu bahwa Semarang pernah mengalami masa keemasan, saat pedagang dari sejumlah negara berdatangan.

Kota Semarang saat itu merupakan kota pelabuhan dan perdagangan yang sangat penting selain Batavia dan Surabaya. Belanda pun membangun kota yang serupa dengan kota-kota di Eropa sebagai pusat perdagangan dan pemerintahan. Itu sebabnya Kota Lama Semarang dikenal dengan sebutan Little Netherland karena sangat mirip dengan kota di Belanda.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Kawasan Kota Lama masih meninggalkan jejak keindahan bangunan masa lalu di Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (6/6/2014). Kemegahan Kota Lama yang dulu metropolis meredup seiring hancurnya bangunan-bangunan karena tak terawat setelah ditinggalkan pemiliknya.
Novida Abbas, peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Yogyakarta, menyebutkan, wilayah yang kini dikenal sebagai kawasan Kota Lama itu mulai dibangun sejak 1677, lengkap dengan Benteng Veijfhoek untuk memantau lalu lintas kapal dari Laut Jawa menuju Kali Semarang.

Dari penggalian yang dilakukan sejak 2009 oleh Balar Yogyakarta, ditemukan adanya struktur benteng kota yang mengelilingi kawasan Kota Lama mulai 1756, sampai Belanda meruntuhkan sendiri benteng itu pada 1824 untuk mengembangkan kota dan membangun jaringan kereta api. Di Semarang pula jaringan kereta api pertama dibangun mulai 1864 di ruas
Semarang-Tanggung sepanjang 26 kilometer oleh Nederlands Indische Spoorweg Maatschappij.

Alberstus Kriswandhono, seorang arkeolog-arsitek yang juga anggota BPK2L, menyebutkan, pentingnya Semarang pada masa itu ditunjukkan dengan adanya tujuh konsulat dari sejumlah negara, antara lain Perancis, Belgia, dan Taiwan di kawasan Kota Lama. ”Kami hanya ingin menunjukkan dan mengingatkan bahwa dahulu Semarang menjadi kota yang sangat penting. Pasar Malam Sentiling 2014 ini sebagai momen bagi semua pihak untuk introspeksi,” kata Kriswandhono.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, dalam pembukaan Festival Kota Lama, Jumat malam, menyebutkan, Semarang memiliki aset yang sangat berharga, yaitu kawasan Kota Lama yang sarat dengan nilai sejarah, budaya, dan arsitektur. ”Ini harus dijaga, jangan sampai bangunan-bangunan yang berharga ini hilang. Kita harus menghargai sejarah,” katanya.

Jika Semarang pada masa lalu bisa berjaya, kata Mari, maka saat ini dan masa yang akan datang seharusnya juga bisa. Kawasan Kota Lama merupakan potensi wisata yang sangat besar. Di sejumlah negara, kota tua menjadi pusat wisata kota yang sangat menarik.

Meredup

Sayangnya, 100 tahun setelah Koloniale Tentoonstelling, kilauan Kota Semarang malah meredup. Kota Lama dihantui rob dan banjir yang terjadi setiap tahun, seiring dengan laju penurunan tanah dan meningkatnya muka air laut, diperparah dengan drainase yang buruk.

Meski saat ini pemerintah mulai membenahi drainase dan memperbaiki jalan, Kota Lama masih tampak suram. Beberapa pihak mulai menghidupkan Kota Lama dengan membuka restoran, kafe, dan galeri, juga aneka kegiatan.

Di sisi lain, masih banyak bangunan tua yang dibiarkan hingga rusak dan roboh atau dirobohkan dan kemudian diganti dengan bangunan baru. Para
tunawisma menumpang hidup di bangunan-bangunan mangkrak yang kemudian menyebabkan kawasan itu menjadi kumuh.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Pasangan turis dari Belanda memanfaatkan waktu singgah kapal pesiar yang membawa mereka dengan berjalan-jalan di Kawasan Kota Lama, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (6/1/2012).
Kepala Dinas Pariwisata Jateng Prasetyo Ari Bowo mengatakan, Pasar Sentiling dapat dimaknai juga ’disentil lagi eling (disentil baru sadar)’ sehingga mengingatkan semua pihak untuk bekerja dalam menghidupkan dan melestarikan Kota Lama Semarang. Ia mengumpamakan Kota Lama Semarang seperti toko yang memiliki barang bagus, tetapi tidak memiliki etalase yang menarik.

Sekretaris Dinas Tata Kota dan Perumahan Kota Semarang M Irwansyah mengatakan, Kota Semarang telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan Kawasan Kota Lama Semarang. BPK2L juga telah dibentuk.

”Kami juga berencana untuk menjadikan kawasan Kota Lama ini menjadi kota warisan dunia yang diakui oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Namun, untuk itu kami membutuhkan dukungan dari pemerintah pusat,” kata Irwansyah.

Seperti dituturkan Kriswandhono, sebenarnya jika semua pihak menyadari tugasnya masing-masing dan melaksanakannya, tujuan akan dengan mudah dicapai. Karena itu, mengingat kejayaan pada masa lalu saja tidak cukup. Semua pihak harus introspeksi diri dan memulai aksi. (Amanda Putri)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com