Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Unik, Tradisi "Poka Kaba" di Lembah Kampung Bumbu

Kompas.com - 07/11/2014, 08:31 WIB
Kontributor Manggarai, Markus Makur

Penulis

PERJALANAN menuju perkampungan di perbatasan antara Kabupaten Manggarai Timur dan Kabupaten Manggarai di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kampung Bumbu Pupung, Desa Rondo Woing tak mudah seperti yang diungkapkan dalam kata-kata lisan. Walaupun tergolong kampung yang berada di lembah dan terpencil juga tak mudah dijangkau kendaraan bermotor, Bumbu Pupung, akhir Oktober 2014 tiba-tiba meriah.

Ratusan pengunjung dari kampung tetangga, seperti Kampung Ntaur, Torok Golo, Teber, Colol, Rengkam, Sita, bahkan kabupaten tetangga hadir ke kampung  itu. Mereka yang semuanya dalam hubungan kekeluargaan datang dengan maksud sama: menghadiri ritual “Poka Kaba Congko Lokap” rumah Gendang Bumbu. Ritual ini wajib dilaksanakan dan selalu diupacarakan ketika pembangunan rumah adat gendang selesai dibangun oleh para pewarisnya.

Bumbu adalah salah satu anak kampung di Desa Rondowoing, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur. Daerah dengan kampung induk bernama Pupung, Bumbu adalah kampung yang berada di lembah yang diapit empat bukit. Keempat bukit itu adalah bukit Racang (Golo Racang), Colol, Teong Lewing, dan Bukit Pupung (Golo Pupung). Kampung itu berada di sebelah timur bagian selatan Kabupaten Manggarai Timur di Pulau Flores.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Ritual ayam putih dalam tradisi Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Bumbu di Desa Rondowoing letaknya sekitar 20 kilometer dari Borong, Ibukota Kabupaten Manggarai Timur, atau 50 kilometer dari arah Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai. Manggarai sendiri yang kini berubah nama menjadi Manggarai Raya, sejak awal tahun 2000-an mengalami pemekaran dan kini menjadi tiga kabupaten. Selain Kabupaten Induk, Manggarai, dua lainnya adalah Manggarai Barat (2003) dan Manggarai Timur (2007).

Kondisi jalan Ruteng-Borong-Ranamese sangat bagus. Jalan itu adalah bagian dari jalan lintas Transflores yang berstatus sebagai jalan negara. Namun, kondisi jalan selebihnya sangat kontra. Apalagi jalan ke kampung-kampung. Sejak lepas dari jalan Transflores dan memasuki tikungan menuju ke Bumbu, kendaraan roda empat, baik yang bermerk ford dan truk harus berjalan dengan penuh hati-hati. Dari satu persimpangan, persisnya di samping Kampung Paka hingga pusat Kampung Bumbu yang jaraknya sekitar 15 kilometer perjalanan dengan mobil membutuhkan waktu 1,5 jam.

Jalan itu selain sempit, juga hanya berlapiskan susunan batu yang sudah terkelupas dari Paka sampai di Kampung Ntaur, Desa Sano Lokom. Dari Kampung Ntaur, kita berjalan melewati dua kali besar, yakni Kali Waemusur I dan II. Jalan tersebut berlubang-lubang karena sebagian susunan batu sudah terbongkar dan berserakan, membentuk onggokan liar di sana sini. Sedangkan dari tikungan Paka sampai di Kampung itu kita melewati lima kali besar. Satu jembatan sudah dibangun sejak masih bergabung dengan Kabupaten Induk, Manggarai dan duanya lagi sedang dikerjakan. Selain itu jalan rayanya berada disela-sela tebing batu. Jalan menurun dan mendaki sehingga sopir yang mengendarai kendaraan penuh dengan hati-hati.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tari Congka Sae yang dibawakan kaum perempuan dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Meski sempat lelah dan letih akibat guncangan kendaraan saat melewati jalan yang rusak dan belum beraspal itu, rasa kelelahan hilang saat bersamaan menikmati pemandangan persawahan di Lembah kampung itu serta memandangi empat bukit yang masih sangat hijau.

Seperti dalam judul tulisan ini, setidaknya di kawasan Timur bagian selatan Manggarai Raya termasuk Bumbu-Pupung dan sekitarnya hingga di era teknologi dan global ini menyisakan ritual kuno yang berusia ribuan tahun yang dipercayai sangat sakral oleh para penghuni Manggarai Raya. Ritual itu sudah sering diketahui luas adalah “Poka Kaba Congko Lokap”, yakni sebuah upacara khusus sesudah rumah adat gendang di Manggarai Raya dibangun.

Masyarakat Manggarai Raya di Flores umumnya masih beranggapan bahwa “Poka Kaba Congko Lokap”, ritual membersihkan kampung dari berbagai kejahatan pasca rumah adat gendang dibangun dengan hewan kurban kerbau adalah upacara wajib sebagai penghormatan dan berterima kasih kepada lelulur dan Sang Pencipta.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Tetua adat menyerahkan alat tari Caci pada acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Ritual “Poka Kaba Congko Lokap” di Bumbu, Rabu-Kamis, 29-30 Oktober 2014, penyelenggaranya adalah turunan dari Suku Nembe yang rumah adat induknya berpusat di kampung tersebut. Tradisi ini harus dilaksanakan pasca pembangunan rumah adat Gendang yang didirikan ditengah kampung. Poka (bunuh), Kaba (kerbau), Congko (pungut) dan Lokap (kotoran atau sisa-sisa kotoran). Jadi tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” diartikan sebuah tradisi membunuh kerbau untuk membersihkan sebuah kampung pasca rumah adat Gendang dibangun.

Dalam ritual puncak “Poka Kaba Congko Lokap”, hewan kurban kerbau selalu dipadukan dengan sejumlah babi jantan besar dan kecil. Ritual ini diyakini sebagai upacara bersyukur dan berterima kasih kepada leluhur atas bantuan mereka sehingga rumah adat bisa dibangun sekaligus mengucapkan terimakasih kepada Sang Pencipta.

Gabriel Geo, tetua adat di Kampung Bumbu Pupung kepada Kompas.com di Kampung Bumbu, Kamis (30/10/2014) menjelaskan, warga kampung Suku Nembe berasal dari keturunan Minangkebau. Nama lelulur asal Minangkebau adalah ‘Durung’. Namun, warga suku di Manggarai Timur memanggilnya “Wangka Durung”. Mengapa, saat “Durung”  berlayar dari Minangkebau dan bersandar di Pelabuhan Pota, Jangkar dari kapalnya ada di Pelabuhan Pota. Jadi orang memanggilnya “Wangka Durung”. Selanjutnya, “Wangka Durung” memperistrikan “Kodal” dari Kampung Watu Cie, di Colol, Kecamatan Pocoranaka.

KOMPAS.COM/MARKUS MAKUR Para tetua adat menari Congka Sae dalam acara Poka Kaba Congko Lokap di Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Gabriel menjelaskan, hasil perkawinan “Wangka Durung dan Kodal” lahirlah Hende (sulung), Nembe (anak kedua), Koko (anak ketiga) dan Wintuk (anak bungsu). Lalu, Hende, karena rajin memelihara anjing maka ia bermigrasi ke wilayah Lambaleda. Nembe adalah seorang yang tekun menanam berbagai jenis tanamanan holtikultura seperti ubi kayu, ubi tatas, ubi keladi dan sejenisnya sehingga Ia mencari daerah subur di wilayah pegunungan Mandosawu dekat dengan Gunung Ranaka.

“Dari Gunung Mandosawu dekat Gunung Ranaka, leluhur kami (Nembe) mencari daerah subur dan menemukan daerah subur di Lembah Bumbu-Pupung. Kuburan dari leluhur itu yang berusia ratusan tahun masih ada diatas bukit disekitar Lembah Bumbu-Pupung. Sejak kehadiran leluhur itu, warga masyarakat membangun rumah adat yang sederhana yang terbuat dari ijuk dan bertiangkan bambu. Lalu, penginisiatif, Hironimus Nawang, seorang putra keturunan Kampung Bumbu merencanakan pembangunan rumah adat gendang Bumbu. Maka, pembangunan sudah selesai dengan dilaksanakan ritual “Poka Kaba Congko Lokap,” jelasnya.

Tetua Gendang Kampung Bumbu, Marselinus Mantur, Karel Kalut dan Yakobus Tagang menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam tradisi “Poka Kaba Congko Lokap” yang harus dilalui diantaranya, ritual “Barong Lodok”, ritual di sudut persawahan dan perkebunan milik komunitas warga dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Kedua, ritual “Barong Wae”, ritual di mata air dengan ayam jantan sebagai lambangnya. Ketiga, ritual “Teing Hang Ata Tua”, ritual memberikan sesajen kepada leluhur di kampung tersebut. Keempat, ritual “Tudak Ela Penti”, ritual berterima kasih dan bersyukur kepada leluhur sebagai perantara rahmat dari Sang Pencipta.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Ketua PHRI Sebut Perkembangan MICE di IKN Masih Butuh Waktu Lama

Travel Update
Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Astindo Nilai Pariwisata di Daerah Masih Terkendala Bahasa Asing

Travel Update
Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Kereta Api Lodaya Gunakan Kereta Eksekutif dan Ekonomi Stainless Steel New Generation Mulai 1 Mei 2024

Travel Update
Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Deal With Ascott 2024 Digelar Hari Ini, Ada Lebih dari 60 Properti Hotel

Travel Update
4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

4 Tempat Wisata Indoor di Kota Malang, Alternatif Berlibur Saat Hujan

Jalan Jalan
3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

3 Penginapan di Rumpin Bogor, Dekat Wisata Favorit Keluarga

Hotel Story
Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Pendakian Rinjani 3 Hari 2 Malam via Sembalun – Torean, Perjuangan Menggapai Atap NTB

Jalan Jalan
Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Rekomendasi 5 Waterpark di Tangerang, Harga mulai Rp 20.000

Jalan Jalan
Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Tips Pilih Kursi dan Cara Hindari Mual di Pesawat

Travel Tips
4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

4 Playground di Tangerang, Bisa Pilih Indoor atau Outdoor

Jalan Jalan
Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Tradisi Syawalan di Klaten, Silaturahmi Sekaligus Melestarikan Budaya dan Tradisi

Jalan Jalan
Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Aktivitas Seru di World of Wonders Tangerang, Bisa Nonton 4D

Jalan Jalan
Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Cara ke Pasar Senen Naik KRL dan Transjakarta, buat yang Mau Thrifting

Travel Tips
8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

8 Tips Kemah, dari Barang Wajib DIbawa hingga Cegah Badan Capek

Travel Tips
Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Harga Tiket Candi Borobudur April 2024 dan Cara Belinya

Travel Update
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com