Rute yang dilalui relatif lurus dengan aspal yang halus di lebih dari separuh perjalanan. Namun yang menarik dari rute ini adalah para pesepeda akan melintasi Taman Nasional Wasur yang memang berada di jalan utama menuju perbatasan.
Walau berangkat pukul 2 siang, namun cuaca tidak terlalu panas karena mendung menggantung di langit. Selain itu tiupan angin yang kencang membuat badan terasa sejuk dan pemandangan menjadi indah karena rumput dan pepohonan bergoyang ditiup angin.
Sekitar 18 kilometer dari titik berangkat, rombongan memasuki Taman Nasional Wasur. Pesepeda langsung berteriak-teriak kegirangan melihat indahnya taman. Pepohonan di kanan kiri jalan membuat teduh jalur itu. Rawa-rawa di sepanjang lintasan dipenuhi teratai biru dan ungu. Di sana sini terlihat gundukan menjulang yang disebut sarang semut. Walau tampak seperti timbunan tanah pasir, namun ternyata dindingnya sekeras batu.
Mengingat bahwa waktu berangkat sudah menjelang sore sementara jarak yang harus ditempuh 85 kilometer, maka Road Captain Marta Mufreni mengajak rombongan bersepeda lebih cepat. "Kita gowesnya lebih cepat ya, tapi usahakan tetap dalam satu rombongan," ujarnya.
Karena aspal relafif halus, maka para pesepeda pun bersemangat untuk ngebut. Namun ternyata ada hambatan. Angin yang tadinya menyejukkan tubuh dan membawa aroma alam yang eksotis, menjadi musuh pagi para "pembalap" dadakan ini.
Mengayuh sepeda melawan angin kencang jelas-jelas sangat berat. Agar tidak terlalu terhambat angin, maka pesepeda harus berada di dalam kelompok, seperti kawanan burung yang bermigrasi. Para marshal pun selalu berusaha mengumpulkan pesepeda yang tercerai.
"Masuk kelompok ya, kalau kita tertinggal akan makin berat mengejarnya karena kita harus melawan angin sendirian," ujar Donald Wisbar, salah seorang marshal.
Dia pun menggiring kawanan yang terpisah untuk menjadi satu lagi. "Ikuti di belakang baris dua-dua," katanya.
Lalu Donald pun "menarik" rombongan agar bergerak lebih cepat. "Ayo di kecepatan 25 yaaa... Tariiiiik..."
Rupanya strategi membentuk dan "menarik" kawanan itu tepat. Angin yang menerpa dilawan pesepeda terdepan sehingga pesepeda di belakangnya bisa lebih ringan melaju. Mereka yang kuat bergantian mendampingi marshal di baris depan untuk memecah angin. Selain itu, dalam rombongan, irama mengayuh menjadi serempak dan semangat melonjak kembali.
Bagaimana bila terpisah dari rombongan? "Wah sudah pasti sengsara. Saya berhenti untuk membetulkan tali sepatu dan ngos-ngosan mengejar rombongan. Walau sudah menunduk agar tidak melawan angin, rombongan tetap tak terkejar," ujar Wisnu Hardana, seorang pesepeda.
Hal yang sama dialami banyak peserta lain yang terpaksa berhenti karena membetulkan sepeda, mengenakan jas hujan, atau berhenti untuk pipis. Mengejar rombongan sendirian memang berat karena kita harus mengayuh lebih keras.
Untung segala jerih payah hari ini terbayar oleh pemandangan indah, keceriaan, kopi papua yang enak, berbagai ubi, jagung dan pisang rebus, serta makan malam daging rusa saat tiba di perbatasan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.