Karya seni rupa kelas wahid itu tidak hanya dipamerkan di Jakarta, tetapi juga dibawa ke cabang-cabang Kunstkring di 26 kota di Indonesia. Sebuah iklan koran hitam putih pada masa itu menunjukkan, karya maestro dunia itu bisa dikecap di kota-kota kecil yang jauh dari pusat pemerintahan, seperti Jombang, Kediri, Cepu, hingga Deli Serdang.
Kini, pengelola Gedung Kunstkring berupaya merawat ”semangat” itu melalui beragam pameran seni rupa dan pertunjukan seni. ”Kami ingin mengembalikan lagi fungsi bangunan sebagai pusat seni yang gemilang,” kata Rosiany T Chandra, Manajer Public Relation Grup Tugu Hotel dan Restoran, yang kini mengelola Kunstkring.
Mari kita tengok agenda seni di bulan Juni. Kunstkring menggelar pertunjukan balet, pameran perhiasan, dan pameran fotografi. Pekan lalu, 20 foto bertajuk ”Seen by Heart” yang bercerita tentang keindahan negara Georgia, karya fotografer Ariane Ratna Aju Dewi Elisabeth Asmadiredja, dipamerkan di sana.
Diresmikan pada tahun 1914, Kunstkring menjadi pusat kegiatan budaya dengan sistem jejaring ke seluruh penjuru Hindia Belanda. Berumur lebih dari satu abad, hingga kini bangunan dua lantai Kunstkring dengan menara-menara tingginya tetap tegak berdiri di Jalan Teuku Umar I, Jakarta Pusat.
Kunstkring memiliki ruang pameran berukuran 23 meter x 11,50 meter. Pada era kejayaan Kunstkring, seluruh dinding ruang pamer di lantai dua ditutupi dengan kain warna emas. Lukisan yang dipamerkan digantung di batang tembaga. Tercatat, bukan hanya pelukis asing, karya maestro Indonesia S Sudjojono pernah dipamerkan di sini.
Arsitektur rasionalis
Tak hanya sebagai ruang pamer seni rupa, Kunstkring berupaya mengembalikan fungsinya sebagai lokasi pertunjukan seni. Pada tahun 1926, Kunstkring juga mendatangkan penari kelas dunia, Ruth St Denis dan Ted Shawn, yang merintis tari modern untuk tampil keliling Pulau Jawa. Di daerah yang dikunjungi, para penari asing ini belajar tari jawa ataupun tari bali lalu mengadaptasi dan membawanya ke Amerika.
Pada 1929, giliran seniman balet dunia Anna Pavlova yang tampil di Indonesia, termasuk di Gedung Kunstkring. Selama satu bulan, Pavlova bersama tim penari yang terdiri atas 60 orang berkeliling dari kota ke kota. Mereka antara lain singgah di Yogyakarta dan Surakarta dan belajar tari jawa dari keraton. Pertunjukan Pavlova di Jakarta kala itu mampu membuat lalu lintas macet.
Kunstkring juga unggul dari segi arsitektur bangunan. Ia menjadi salah satu bangunan tertua yang pertama kali menggunakan beton bertulang di Indonesia. Karena itu, tak ada renovasi besar-besaran yang perlu dilakukan untuk memperkuat bangunan yang sudah berdiri kokoh.
Desain Kunstkring mengikuti prinsip arsitektur rasionalis yang dikenal sebagai New Hindia Style yang pada dasarnya menggabungkan unsur-unsur tropis. Bentuk bangunan yang dicat putih ini lebih mengedepankan pendekatan fungsional dengan mengurangi elemen dekorasi. Pintu dan jendela di Gedung Kunstkring dibuat tinggi sehingga memungkinkan ventilasi silang untuk mendinginkan ruangan.
Begitu memasuki pintu muka, pengunjung masuk ke lorong menuju ruang yang diberi nama Ruang Diponegoro. Sebuah lukisan berjudul ”The Fall of Java” berukuran 9 x 4 meter memenuhi salah satu dinding ruangan. ”The Fall of Java” menjadi lukisan ketiga di dunia—setelah lukisan karya JW Pieneman dan Raden Saleh—yang berkisah tentang sejarah penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Belanda yang mengakhiri Perang Jawa (1825-1830).
Bersebelahan dengan restoran, terdapat ruangan dengan konsep yang sama sekali berbeda dengan ruang lain, yaitu Suzie Wong Bar. Bar ini lebih bernuansa oriental dengan poster film The World of Suzie Wong yang diperoleh dari Bioskop Megaria pada era tahun 1960. Bar semakin hidup dengan hiasan becak serta papan nama Nam Kok yang merupakan
properti asli film Suzie Wong. Dulunya, ruang tersebut adalah kantor untuk ikatan seni serta perwakilan seniman.
Menara kembar
Anak tangga menuju lantai dua istimewa karena terbuat dari beton semen-granit dengan pegangan tangan dari logam kuningan. Dinding di sekitar tangga setinggi 8 meter ini menjadi gantungan karya reproduksi pelukis Belanda, Rembrandt, dan dua lukisan indah yang disumbangkan oleh produser film Max Fleischer.
Ketika memasuki ruang makan, kita sekaligus memasuki bagian dalam menara kembar, yang merupakan penanda gerbang memasuki wilayah Gondangdia. Bagian dalam menara masih menyisakan aksen batu bata yang belum diplester.
Sejarah fungsi Gedung Kunstkring digambarkan lewat foto-foto yang dipajang di dinding. Kunstkring berfungsi sebagai pusat seni hingga tahun 1936. Ia sempat digunakan sebagai kantor pusat Majelis Islam A’la Indonesia (1942-1945) dan kemudian menjadi Kantor Imigrasi Jakarta Pusat (1950-1997).
Tanpa mengubah keindahan arsitekturnya, gedung legendaris Bataviasche Kunstkring dibuka kembali dengan nama Tugu Kunstkring Paleis oleh Grup Tugu Hotel dan Restoran pada April 2013. Lewat kehadiran Kunstkring, waktu seolah berputar terbalik kembali ke masa lampau.
(Mawar Kusuma)