Sekeping piringan hitam tersimpan rapi di salah satu ruang lantai dua Museum Benteng Heritage (MBH). Di bagian tengah cakram itu terdapat label bulat berukuran sedang.
Dasar label berwarna putih dengan kombinasi warna biru langit. Pada label itu tercetak beberapa garis lurus dan lingkaran serta tulisan berwarna merah.
Pada bagian atas label tertulis Electric Recording. Di bawahnya tertera tulisan Yo Kim Tjan. Lalu, ada tulisan ”British Made” dan ”Indonesia Raja”. Di bawahnya lagi tertulis kalimat: ”dimainken oleh populair orchest”. Paling bawah tertera tulisan yang sudah agak buram: Gecompomeeod Door WR Soepratman.
”Ini adalah piringan hitam lagu ’Indonesia Raya’ asli dari Pak Yo Kim Tjan. Beliaulah yang pertama kali merekam ’Indonesia Raya’ ke dalam piringan hitam. Piringan hitam ini dititipkan keluarga Yo Kim Tjan di sini,” kata Udaya Halim, pemilik sekaligus pengelola MBH, pekan lalu.
Hari itu, Udaya yang memandu rombongan dari Harmony Tour pimpinan Hendro Tedjowidjojo dan Kompas menelusuri jejak sejarah Indonesia dan warga Tionghoa dalam museum tersebut. Piringan hitam bersejarah itu hanya satu dari sejumlah benda koleksi yang menunjukkan peran warga Tionghoa dalam sejarah Indonesia.
Berada satu ruangan dengan piringan hitam ini, terdapat berbagai koleksi alat pemutar lagu dari masa ke masa, termasuk Edison Phonograph buatan 1890-an. Juga dipajang berbagai koleksi kamera tua yang masih bisa menghasilkan gambar berkualitas tinggi. Peminat musik dan fotografi akan belajar banyak tentang sejarah kamera dan musik di ruangan ini.
Menurut Udaya, sebagian dari rombongan ini, yang dipimpin Chen Ci Lung, mendarat di Teluk Naga, Tangerang, tahun 1407. Rombongan itu diyakini sebagai nenek moyang penduduk Tionghoa Tangerang atau yang lebih populer dengan sebutan warga Cina Benteng.
Saat berkeliling di lantai dua, beberapa sepatu mini yang dipajang dalam ruang kaca menarik perhatian. Meski terlihat seperti sepatu anak-anak, lanjut Udaya, sepatu-sepatu itu dulunya dipakai wanita dewasa di Tiongkok. ”Sejak kecil kaki mereka sudah ditekuk dan diikat sehingga tulang kaki tidak berkembang menjadi besar,” tutur Udaya yang menambahkan tradisi itu baru mulai dihapus di daratan Tiongkok pada 1911.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.