Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seniman Memulai "Re-branding" Indonesia

Kompas.com - 09/09/2015, 19:24 WIB
"Apa nama musik ini?" kata Klaus Erhardt (47), seorang warga Jerman, ketika mendengar entakan musik dangdut di tepi Sungai Main, Frankfurt, Jerman, Minggu (30/8/2015) sore. Ketika disebutkan dangdut, dia masih bertanya, ”Apakah musik ini asli Indonesia?” ujarnya penasaran.

Ketika dijawab ya, dia hanya mangut-mangut. Ia berada di tengah-tengah penonton warga Jerman yang memadati panggung Indonesia di Festival Tepi Sungai atau Museums Uferfest di Frankfurt, Jerman.

Selanjutnya, Erhardt mengentak-entakkan kaki, kepala bergoyang, dan tangan dicoba digerakkan. Tak tahan mengikuti irama musik dangdut dari kelompok Banter Temen pimpinan Djaduk Ferianto, kemudian dia berjoget dan pinggul digoyang sekenanya.

”Ayo berjoget. Joget saja sebisanya,” kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan Kedubes RI di Jerman Agus Rubiyanto, ketika melihat penonton masih malu-malu berjoget. ”Joget dangdut tidak ada aturan seperti salsa atau tango. Joget saja, yang penting enak,” kata Agus yang sudah lebih dari tujuh tahun kuliah dan bertugas di Jerman.

Penonton akhirnya memang tak tahan untuk berdiam diri. Entakan gendang yang mengiri lagu ”Terajana”, ”Kopi Dangdut”,”Begadang”, dan lagu-lagu dangdut lainnya menghanyutkan penonton yang sebagian besar warga Jerman untuk berjoget. Pinggul digoyang, tangan digerakkan, kaki menari sekenanya. ”Serrr… serrr…” dan celetukan Djaduk lainnya membuat penonton betah bergoyang. Keringat bercucuran, di tengah musim panas Jerman, tak mereka hiraukan.

Penuh antusias

Bukan cuma lagu-lagu dangdut yang memesona warga Jerman. Penampilan Kua Etnika pimpinan Djaduk Ferianto dengan beragam alat musik yang terasa unik bagi warga Jerman juga sangat memesona. Warga Jerman makin antusias ketika ditampilkan kesenian barong osing dari Banyuwangi.

Kesenian tradisional yang didatangkan langsung dari Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, ini menampilkan ayam raksasa berwarna dominan merah dan kuning, saling bertarung di arena. ”Ayam” saling serang, loncat dan lari saat atraksi. Debu beterbangan di sekitar panggung. Kemudian datang barong yang dengan atraktif menari-nari di sekitar panggung.

Dua penyanyi sekaligus penari Gandrung Banyuwangi, Mbok Temu dan Kismiyati atau Miya, meredakan suasana dengan nyanyian mistis penolak bala serta tarian klasik yang menghibur. Tak berlangsung lama, muncul penari-penari kuda lumping yang memainkan pecut di tengah penonton.

Suara pecut yang mengentak terasa menyeramkan, tetapi justru membuat penonton semakin penasaran. Pengunjung Festival Tepi Sungai yang memadati 8 kilometer kiri dan kanan Sungai Main, perlahan-lahan memadati panggung Indonesia yang terletak di antara Jembatan Holbeinsteg dan Jembatan Untermainbrucke.

Panggung Indonesia memang paling besar dalam festival kesenian dan kebudayaan terakbar di Eropa ini. Sebagai tamu kehormatan dalam festival yang dikunjungi sekitar 3 juta orang ini, Indonesia mendapat tempat terluas, yakni 10 meter x 80 meter. Penunjukan Indonesia sebagai tamu kehormatan festival, seiring dengan ditetapkannya Indonesia sebagai tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015, Oktober mendatang.

Dalam Festival Tepi Sungai ini, Indonesia juga menyediakan berbagai kuliner khas, mulai dari nasi goreng, sate, lumpia, batagor, nasi kuning, hingga bakwan yang semuanya habis selama tiga hari penyelenggaraan festival.

”Antusiasme penonton jauh di luar perkiraan kami,” kata Slamet Rahardjo, Ketua Komite Pertunjukan, Pameran, dan Seminar Indonesia di Festival Tepi Sungai di Frankfurt.

Besarnya antusiasme penonton antara lain terlihat dari padatnya penonton di depan panggung Indonesia dibandingkan dengan panggung negara lainnya. Selain itu, konsumen yang mencicipi masakan Indonesia harus antre panjang, bahkan banyak yang kecewa karena tak kebagian.

”Hari pertama, saya cuma menyediakan 2.000 tusuk sate, ternyata habis hanya dua jam,” kata Ketut Sugiri, yang menyediakan berbagai kuliner Indonesia dalam festival tersebut.

Hari kedua, dia menambah menjadi 4.000 tusuk sate, juga habis dalam sekejap. Hari ketiga dia tidak sanggup untuk menambah lebih banyak lagi sate. ”Badan saya sudah tidak kuat. Mohon maaf jika banyak calon pembeli yang tak terlayani,” kata Sugiri.

Citra baru

Bukan cuma dangdut, Kua Etnika, dan barong osing yang ditampilkan Indonesia dalam festival tersebut. Indonesia juga menampilkan kolaborasi jazz Dwiki Dharmawan and World Peace Ensemble, penyanyi bersuara merdu Dira Sugandi dan Mian Tiara, Bonita and the Hus Band, pianis Sri Hanuraga, serta penyanyi rap JFlow. Di stan lainnya, Indonesia menyajikan berbagai kuliner, kain tenun, animasi, serta cendera mata khas Indonesia.

Beragamnya seni dan kuliner yang disajikan memang sudah dirancang sejak awal. Indonesia tidak mau hanya menampilkan atraksi seni-seni tradisional.

”Kami ingin membuat re-branding Indonesia. Membuat citra baru Indonesia,” kata Goenawan Mohamad, Ketua Komite Nasional Frankfurt Book Fair.

Seniman tidak mau Indonesia selalu dikaitkan dengan citra negatif di dunia internasional, seperti ledakan bom Bali atau bencana tsunami Aceh. Citra baru yang ingin dibangun antara lain menunjukkan kekayaan tradisi Indonesia mulai dari seni musik, tenun, dan kuliner yang ternyata bisa dipadukan dengan seni modern. Musik tradisi, misalnya, bisa dipadukan dengan musik jazz, pop, dangdut, dan rap. Indonesia juga ingin ditampilkan sebagai negara yang damai, moderat, dan penuh toleransi.

Wali Kota Frankfurt Peter Feldmann rupanya sudah mendapat gambaran yang utuh tentang Indonesia. Itu antara lain diperolehnya dari informasi media Jerman setelah 17 wartawan Jerman sebelumnya berkunjung ke Indonesia dan secara mendadak diterima Presiden Joko Widodo.

Koran terbesar di Frankfurt, Frankfurter Allgemeine, dalam kepala berita bahkan mengangkat soal kekaguman Wali Kota Frankfurt atas semboyan Bhinneka Tunggal Ika tersebut.

Konsul Jenderal Republik Indonesia di Frankfurt Wahyu Hersetiati mengatakan, publik Jerman sudah memiliki citra positif tentang Indonesia. Tinggal lagi pemerintah dan masyarakat memanfaatkan citra tersebut untuk kemajuan bangsa di masa mendatang. (Try Harijono)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2015, di halaman 27 dengan judul "Seniman Memulai "Re-branding" Indonesia".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com