Nama bukit yang akan kami daki untuk menyaksikan matahari terbenam adalah Siti Hinggil. Tak ada penjelasan khusus ketika mendengar nama tersebut. Puluhan anak tangga kini telah tersaji di depan mata. Kami langsung mendaki anak-anak tangga. Suara deburan ombak yang terpecah oleh karang kian garang. Pohon dan semak-semak meranggas hingga berwarna coklat. Kami tak sabar untuk melepaskan surya pergi.
Di puncak Bukit Siti Hinggil, telah terlihat beberapa wisatawan yang juga akan turut melepas senja. Mereka telah siap dengan kamera-kamera yang membidik ke arah barat. Di sisi lain, ada laki-laki dan perempuan yang berbincang-bincang di bawah pendopo yang sengaja dibangun pengelola. Namun, sayang banyak terdapat coretan-coretan di segala sisi pendopo. Padahal menurut Assisten Manager Pemasaran Wisata Tanjung Papuma dan Pulau Merah Perhutani Jawa Timur, Suharno, pendopo itu baru saja dicat pada bulan Agustus.
Waktu begitu cepat di bagian timur Pulau Jawa ini. Matahari mulai perlahan tenggelam saat jam menunjukkan pukul 17.15 WIB. Langit mulai memerah. Awan hitam sempat menyembunyikan sang surya. Kekecewaan sempat terlihat. "Yah, awannya nutup," kata seorang wisatawan sambil menunjuk ke arah awan. Namun awan perlahan bergerak. Surya kembali terlihat. Cahaya merah terpantul ke air laut. Sekarang, sang surya semakin cepat bergerak turun. Langit juga semakin gelap.
Setelah matahari benar-benar hilang dari pandangan mata, kami langsung meninggalkan Siti Hinggil. Kami bergegas untuk bersiap untuk melahap makan malam di salah satu pendopo milik Perhutani yang berjarak sekitar 200-300 meter dari tempat kami melahap senja. Puas menikmati sore hari di Pantai Tanjung Papuma, kami bergerak kembali ke pusat kota. Hampir 45 kilometer untuk dapat menuju kota.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.