Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Laila Al Khusna Memopulerkan Batik Lampung

Kompas.com - 02/04/2016, 16:31 WIB

MENETAP di perantauan tidak membuat Laila Al Khusna (58) melupakan keterampilan membatik yang diwariskan orangtuanya. Dengan keahlian itu, ia berhasil memopulerkan batik tulis lampung sekaligus menggerakkan ratusan orang untuk menjadi pebatik, termasuk sejumlah penyandang disabilitas.

Rumah Batik Siger di Kecamatan Kemiling, Bandar Lampung, yang didirikan Laila enam tahun lalu tak pernah sepi dari aktivitas membatik. Setiap hari, 35 perajin batik yang telah ia bina memproduksi sekitar 20 helai kain batik tulis.

Siang itu, Minggu (27/3/2016), lima perajin batik duduk di kursi kecil. Tangan kiri mereka memegang selembar kain mori putih, tangan kanan terampil membubuhkan malam cair mengikuti motif siger pada kain.

Setelah dibatik, kain-kain itu dibawa ke perajin lainnya untuk diwarnai dengan teknik mencolet (kuas). Kain lalu dibilas menggunakan air dan dijemur agar cepat mengering.

Aktivitas membatik itu dilakukan oleh binaan Laila yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga. Sebagian dari mereka merupakan para penyandang disabilitas atau orang berkebutuhan khusus.

Kini, sebagian murid binaan Laila telah bekerja sebagai perajin batik di sentra pembuatan batik tulis milik Laila. Sekitar 200 perajin batik lainnya telah memproduksi batik tulis secara mandiri. Sebagian dari mereka juga menjadi instruktur batik di sejumlah sekolah di Lampung.

Lahir sebagai perempuan keturunan Solo (Jawa Tengah), Laila mewarisi keterampilan membatik dari ibu kandungnya yang merupakan pengusaha batik.

Sejak masih di sekolah dasar (SD), Laila terampil memegang gagang canting dan mengoleskan lilin (malam) di atas kain mori. Ia juga pandai memilih warna untuk kain batiknya.

Keterampilan membatik itu tak langsung ia salurkan saat pindah ke Lampung tahun 1970-an. Saat itu, Laila memilih mendirikan Yayasan Taman Kanak-kanak (TK) Sari Teladan dan tenggelam dalam kesibukan mengajar anak-anak TK. Selain itu, ia aktif di berbagai organisasi sosial.

Rindu batik

Akan tetapi, kerinduan pada batik tulis kembali mengusik hatinya. Apalagi, belum ada perajin yang mengembangkan usaha batik tulis di Lampung.

Kebanyakan kain bermotif batik lampung yang ia temukan di pasaran adalah kain batik cetak (printing). Itu pun dipasok oleh para perajin dari Pulau Jawa.

Pada saat yang sama, ia melihat banyak anak putus sekolah dan ibu rumah tangga yang menganggur di sekitar rumahnya. Hal itu membuat Laila semakin terpanggil untuk membagikan keterampilan membatik yang ia miliki.

”Melestarikan batik berarti turut merawat warisan budaya. Saya ingin ada perajin yang mengembangkan batik tulis di Lampung. Dengan begitu, mereka juga bisa mendapatkan penghasilan,” tutur Laila.

Pada 2008, Laila mulai aktif mempelajari berbagai motif batik lampung melalui buku. Ia juga tak sungkan bertanya kepada rekan dan tokoh penyimbang adat Lampung untuk mengetahui makna dari setiap motif gajah, perahu (jukung), dan siger (mahkota).

Laila lalu mengajak ibu rumah tangga yang tinggal di sekitar rumahnya untuk belajar membatik. Ada sekitar 30 orang yang tertarik belajar membatik.

Namun, ketiadaan modal untuk membeli berbagai kebutuhan membatik, antara lain kain, malam (lilin), canting, dan pewarna kain membuat rencana itu urung terlaksana.

Saat itu, Laila tak memiliki cukup uang untuk membeli semua bahan dan perlengkapan membatik. Ia pun berinisiatif mengajukan permohonan bantuan dana melalui dinas pendidikan.

”Masyarakat ingin belajar membatik, tetapi tak punya modal. Saya memutuskan mengurus izin pendirian lembaga kursus membatik agar kegiatan bisa berjalan. Sebab, bantuan dana dari pemerintah bisa diperoleh dengan syarat sudah ada lembaga kursus yang berizin,” kata Laila.

Tahun itu pula, untuk pertama kalinya Laila memberikan pelatihan membatik bagi 20 ibu rumah tangga dan remaja putri berkebutuhan khusus. Ia membuat sendiri kurikulum dan silabus untuk murid binaannya. Sampai tahun 2015, ia telah membina sekitar 200 perajin batik.

Semula, Laila ingin murid binaannya dapat mengembangkan keterampilan membatik secara mandiri. Namun, usaha dan akses pasar lagi-lagi menjadi kendala bagi para perajin.

”Mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk mengembangkan usaha batik. Selain itu, mereka juga tidak tahu harus ke mana memasarkan produknya,” lanjutnya.

Ia pun memutuskan membuka galeri agar kain batik hasil produksi murid binaannya dapat terjual. Laila rajin mempromosikan kain batik itu melalui berbagai pameran daerah dan nasional. Bahkan, batik tulis itu kini telah dikenal di beberapa negara, antara lain Jerman, Turki, Mesir, dan Iran.

Dengan capaian itu, Laila membantu menyejahterakan kehidupan murid binaannya. Ia berani memberikan upah yang lebih tinggi untuk perajin yang bekerja bersamanya. Mereka mendapat upah Rp 75.000 hingga Rp 100.000 untuk setiap kain batik.

Jumlah itu lebih tinggi daripada rata-rata upah perajin batik di Jawa yang diupah Rp 50.000. Laila juga rajin memberikan pesanan batik kepada murid binaannya agar mereka mendapat untung yang lebih besar.

Setelah enam tahun mendedikasikan diri pada batik, Laila menerima penghargaan Upakarti dari Kementerian Perindustrian pada Oktober 2014.

Ia dianggap berperan dalam memelopori industri kerajinan batik tulis di Lampung serta membantu mengurangi jumlah penganggur.

Kini, nenek dari lima cucu ini hanya berharap kerajinan batik tulis dapat terus berkembang di Lampung. ”Saya ingin lebih banyak lagi warga Lampung yang mencintai batik,” ujarnya. (VINA OKTAVIA)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com