Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyaksikan Tortor Batak Asli Tak Perlu ke Lagu Boti, di Medan Juga Ada

Kompas.com - 30/05/2016, 13:18 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Kata teman dan orang-orang Batak yang saya temui, kalau mau tahu tari Tortor Batak yang asli, lihatlah Tortor Parmalim atau Tortor Ugamo Bangsa Batak. Alasannya masuk di akal. Agama mereka saja masih agama leluhur yaitu Ugamo Malim, Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak (UBB).

Bagaimana tariannya? Sampai hari ini, kedua komunitas yang masuk golongan penghayat dan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa itu tetap mempertahankan keaslian gerak dan ritme warisan luluhur Bangsa Batak ini.

Nah, kalau mau melihat langsung tarian sakral nan klasik ini, datanglah ke Desa Huta Tinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Di sini lah tempat Ihutan Bolon (pimpinan tertinggi) ruas (umat) dan Bale Pasogit (rumah ibadah) Parmalim berada.

Dari Kota Medan, perjalanan menggunakan mobil pribadi bisa ditempuh sekitar 6 jam. Kalau tidak, tersedia angkutan umum menggunakan mobil L 300 dengan ongkos tak sampai Rp 100.000. Namun, bukan berarti setiap saat kalau datang ke Huta Tinggi bisa menyaksikannya.

Ada hari-hari tertentu. Hari yang paling dikenal adalah perayaan Sipaha Sada yaitu tahun baru dalam kalender Batak sekaligus peringatan lahirnya pemimpin spiritual Parmalim yaitu Pahlawan Nasional Sisingamangaraja. Satu lagi, perayaan Sipaha Lima.

Acaranya biasa digelar pada Juli setiap tahun. Ini agenda besar, pesta seluruh Ruas Parmalim, semua datang dari berbagai penjuru, dalam dan luar negeri.

Perayaan Sipaha Lima berlangsung selama 3 hari, bentuk suka cita dan rasa syukur kepada Opung Mula Jadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa). Saya sudah dua kali meniatkan diri untuk datang ke acara tersebut, tapi gagal terus.

Rasanya menyesal dan kecewa. Apalagi saat mendengar cerita teman-teman yang pergi ke sana, semua bilang sangat unik, menarik dan memukau.

"Sayang kali kau tak ikut, rugi lah pokoknya. Bagus-bagus semuanya. Kita bisa nengok langsung agama dan ritual Sisingamangaraja dulu, unik. Aku kalau ada waktu, mau ke sana lagi lah," kata Arima, perempuan manis yang suka sekali menonton pertunjukan seni dan budaya.

Sementara Yunari hanya mengangguk membenarkan ucapan Arima. Sampailah saya menerima surat undangan dari Aliansi Sumut Bersatu (ASB) untuk menghadiri Pesta Rakyat Pemuda se-Kecamatan Medan Denai, Kota Medan pada 26 Mei 2016.

ASB adalah lembaga di Medan yang konsen dengan isu pluralisme dan minoritas agama. Kali ini mereka bekerja sama dengan Yayasan Satunama Yogyakarta, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Indonesia lewat Program Peduli menggandeng Naposo Bulung (muda-mudi) penghayat Parmalim dan UBB menggelar pesta seni dan budaya. Tujuannya, mendeklarasikan Kota Medan sebagai Kota Inklusi.

Wah, senangnya, saya tak perlu jauh-jauh melihat tortor dan gondang.

"Ini pesta rakyat, pesta kita semua, tapi kali ini pemuda dan pemudi Parmalim dan Ugamo Bangso Batak yang berperan aktif. Seni dan budaya yang mereka tampilkan adalah simbol kekerabatan, hubungan baik, silaturrahmi antar sesama warga di sini. Kita sudah mendeklarasikan Kota Medan sebagai Kota Inklusi. Maka mari sama-sama kita wujudkan dengan tidak membeda-bedakan, membuang semua stigma dan prasangka, dan ciptakanlah kedamaian," kata Direktur Program ASB, Ferry Wira Padang, pekan lalu.

Maka, saya pun ikut bergoyang seadanya saat suara Taganing yaitu lima buah gendang ditabuh mengiringi lirik-lirik Sarune yang mendominasi. Sesekali terdengar bunyi Pangora, Ogung, Hesek atau gong dipukul. Lalu perkusi (saya dengar bunyinya mirip botol yang dipukul dengan batang kayu).

Para penari, laki-laki dan perempuan mengenakan ulos di bawah panggung bergerak dengan ritme teratur, perlahan semakin cepat, membentuk lingkaran, lalu manortor panjang. Ternyata bukan saya saja, ratusan undangan dan pengunjung ikut menggoyangkan tubuhnya, ada yang masih malu-malu.

Irama gondang mulai dari Gondang Mula-mula dan Gondang Somba versus Tortor Somba yang merupakan tarian penghormatan benar-benar menghipnotis. Ada yang unik, budaya saweran.

KOMPAS.COM/MEI LEANDHA Tarian Tortor Batak asli yang dibawakan muda-mudi penganut Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara, Senin (30/5/2016).
Para penari dan penyanyi selalu mendapat lembar-lembar uang mulai Rp 2.000 sampai Rp 100.000. Para pemberi adalah kerabat yang yang punya pertalian marga atau memang senang dengan aksi yang disuguhkan. Satu memulai, maka para tamu dan pengunjung lain akan mengikuti.

Ini juga soal gengsi sosial dan ajang menunjukkan kelas di masyarakat. Atau juga sebagai gula-gula untuk para seniman supaya tetap mempertahankan dan menjaga adat dan budaya turun temurun ini.

Sampai-sampai, beberapa penari tak bisa lagi memegang uang yang diberikan para tamu, tangannya penuh, untung seorang kerabat membantunya mengutipi uang yang berjatuhan.

Wakil Wali Kota Medan Akhyar Nasution yang datang ke acara ini mengatakan, dirinya mengakui bahwa sebelum agama-agama resmi di Indonesia berkembang sudah lebih dulu berkembang agama-agama tradisional, agama-agama bangsa masing-masing.

Kalau di tanah Batak dikenal dengan Ugamo Malim. Bung Karno, Bapak Bangsa menempatkan agama sebagai fondasi pertama dasar bangsa adalah agama.

"Karena dasarnya rakyat Indonesia itu berkeyakinan terhadap agama. Secara pribadi saya sudah tiga kali berkunjung ke Huta Tinggi, saya juga banyak baca apa itu Sipaha Lima. Bapak ibu, berdasarkan konstitusi kita, bapak ibu punya hak hidup di Indonesia. Hanya memang selama ini sistem administrasi kita agak lalai mengadopsi ini. Tapi kami punya keyakinan Kemendagri sudah membolehkan, namun belum ada menyatakan secara spesifik keyakinan itu, keyakinan ini. Karena ada juga agama yang komunitasnya sangat kecil masih disubordinasikan ke agama yang lain dalam pembinaannya," ujar Akhyar membuka kata sambutan.

KOMPAS.COM/MEI LEANDHA Tarian Tortor Batak asli yang dibawakan muda-mudi penganut Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak di Medan, Sumatera Utara, Senin (30/5/2016).
Menurut Akhyar, Pemerintah Kota Medan akan memperlakukan para penganut agama leluhur Batak ini sama seperti warga-warga lain. Tidak ada perbedaan, hak memilih keyakinan adalah hak paling hakiki dalam hidup.

"Semua orang Indonesia wajib beragama, yang tidak boleh hidup di Indonesia adalah orang yang tidak beragama. Jadi bapak ibu sekalian yang tinggal di Kota Medan, nikmatilah. Mengenai pencatatan administrasi dan segala macam, Kemendagri akan mengatur itu semua. Hanya teknis administrasinya nanti yang akan kita rapikan. Jadi kepada warga penganut Ugamo Malim hiduplah berdampingan dengan warga lainnya karena bapak ibu adalah warga bangsa Indonesia. Sesungguhnya, inilah agama asli orang Batak, selamat merayakan deklarasi," pungkas Akhyar.

William E Aipipidely dari Yayasan Satunama Yogyakarta menambahkan, pesta rakyat ini harus menjadi momentum untuk semua yang berbeda bisa merasakan air bersihnya kehidupan kita supaya mampu merasakan keberagaman yang lebih total.

Karena belakangan ini, pihaknya menilai relasi antar agama dan kelompok tidak baik, ada begitu banyak praktik kekerasan jalanan yang ada di masyarakat. Parmalim adalah agama lokal, agama tradisi yang sudah lama ada sebelum banyak agama lain datang.

"Harusnya diberi apresiasi oleh negara. Program Peduli mau mendorong itu, bahwa Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam warna negeri ini. Harus ada pengakuan dari masyarakat dan negara bahwa mereka ada dan punya hak yang sama. Maka ruang untuk berkreatifitas harus diberikan tempat," ucap Willi.

Menurut Willi, dalam rencana pembangunan ke depan, teman-teman Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak agar dilibatkan lebih strategis lagi. Pihaknya akan mendorong DPRD untuk melihat bahwa suara penganut Parmalim ada suara yang sudah diam selama 30 tahun.

KOMPAS.COM/MEI LEANDHA Para deklarator Kota Medan Kota Inklusi diulosi dan diajak manortor pada Pesta Rakyat Pemuda di Medan, Sumatera Utara, Senin (30/5/2016).

Pesta rakyat adalah momentum yang harus disyukuri, dan ada momentum lain, yaitu Kota Medan adalah kota multikultur dan kota toleransi. "Pesan dari program ini adalah tidak ada lagi eksklusivitas untuk teman-teman Parmalim dan Ugamo Bangsa Batak karena kelompok-kelompok ini tersebar hampir di seluruh Indonesia. Sama nasibnya, sedang berjuang untuk diakui," ujarnya disambut tepuk tangan.

Para penghayat agama leluhur Batak ini, menurut data ASB, sebanyak 5.026 jiwa atau 0,14 persen dari 12.985.075 jiwa penduduk Sumatera Utara adalah penganut Parmalim, Ugamo Bangso Batak, Pemena, Habonaro Do Bona, dan lainnya.

Untuk Parmalim, Ras-nya tersebar di beberapa kabupaten dan kota seperti Medan, Simalungun, Samosir, Toba Samosir, Tapanuli Utara, dan pusatnya di Huta Tinggi. Di Medan, ada 373 jiwa Ras Parmalim yang tersebar di 10 kecamatan, sebagian berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang.

Sementara komunitas Ugamo Bangso Batak di Sumut terdapat di Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Samosir dan Kota Tanjung Balai. Jumlah total jemaat 90 jiwa. Mereka ini adalah kelompok minoritas yang sudah lebih dari 30 tahun bersikap diam atas diskriminasi dan marjinalisasi yang dilakukan negara.

Pak Simanjuntak, Ulupunguan (pimpinan) Parmalim Cabang Kota Medan bilang, harusnya mereka diperhatikan pemerintah, bukan malah meminggirkan layaknya orang lain di negeri sendiri. Banyak ketidakadilan yang mereka alami, seperti keharusan memilih salah satu agama yang sudah ditentukan.

"Agama kami tidak diakui negara sebagai agama resmi, kami masuk golongan penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Anak-anak muda kami tidak bisa menerima ini, mereka merasa diperlakukan tidak adil. Karena agamanya, mereka menjadi sulit mencari kerja, saya tidak tau apa hubungannya pekerjaan dengan agama," kata Simanjuntak.

Setelah didampingi ASB para Naposo Bulung mulai berani unjuk gigi dan tidak malu menjalankan ibadahnya. Laki-laki sepuh itu berharap hak mereka sebagai warga negara Indonesia bisa didapat karena kewajiban sebagai warga negara mereka laksanakan.

Kepada kepala desa, camat, instansi terkait, dia meminta agar memudahkan urusan administrasi kependudukan mereka supaya bisa memenuhi kebutuhan dan keperluan hidupnya.

"Menurut kami, kita berada di negara Pancasila yang tidak membeda-bedakan suku, agama, adat dan budaya. Janganlah buat kami merasa lain, merasa berbeda, cukuplah 30 tahun ini kami diam. Diam kami bukan karena takut tapi karena keyakinan kami yang mengajarkan itu. Berikanlah hak-hak kami karena kewajiban kami laksanakan," ucap Simanjuntak dengan raut-raut wajah di makan usia yang kentara.

Kalau ingin tahu lebih banyak tentang para pengikut agama lokal ini dan sedang berada di Kota Medan, teman-teman bisa mengunjungi Istana Parmalim di Jalan Air Bersih Ujung yang juga berfungsi sebagai kantor DPD Kota Medan Punguan Parmalim dan komplek perumahan warga sesamanya.

Letaknya tepat di seberang aliran Sungai Denai. Kalau mau melihat ibadah mereka, datanglah setiap Sabtu, ada ibadah Marari Sabtu sekitar pukul 10.00 atau 11.00 dimulai. Untuk perempuan, harus mengenakan sarung dan melepaskan alas kaki.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com