Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Madura, Akulah Darahmu...

Kompas.com - 14/06/2016, 11:17 WIB

Dari Pulau Jawa, Madura hanya dipisahkan oleh selat dangkal 4 kilometer. Ditinjau dari sudut geologi, pulau ini merupakan kelanjutan sistem pegunungan kapur utara sehingga tulang punggungnya adalah perbukitan berkapur. Bahan induk tanah adalah batu kapur, batu pasir, dan batu endapan yang di sela-sela oleh endapan pasir dan endapan liat.

De Jonge 1989 seperti dikutip dalam buku Manusia Madura karya Prof Mien Ahmad Rifai menyebut sungai panjang dan besar tidak ada di Madura. Sumber air untuk pertanian merupakan sumber langka.

Sebagai suku bangsa yang terkenal sanggup hidup abbantal omba asapo angen (berbantal ombak berselimut angin), menjadi nelayan merupakan mata pencarian hidup penting orang Madura yang hidup di daerah pesisir.

Orang Madura sudah menjadi pelaut sejak zaman kuno. Drs Abdurachman dalam buku Sedjarah Madura menyebutkan, legenda tentang penduduk pertama Madura berasal dari laut yang diberi nama Raden Sagoro atau Pangeran Laut, cucu Raja Mendangkamulan.

Agama Islam di Madura disebarkan oleh Sunan Giri. Akan tetapi, sebelumnya sudah banyak pedagang Islam, seperti dari Gujarat, yang singgah di pelabuhan-pelabuhan di Pulau Madura.

Dari Pelabuhan Kamal di pagi hari, pada sore harinya kami berpindah merekam Matahari terbenam di Pantai Banyusangkah, Tanjungbumi. Pantai Banyusangkah menawarkan pemandangan berbeda sebagai tempat pendaratan ikan terbesar di Kabupaten Bangkalan.

Suasana sunyi di pantai membuat kami bertanya-tanya. Seorang nelayan dengan ringan menjawab, ”Sekarang sedang holiday karena Matahari sedang sakit.”

Sebagian nelayan di Banyusangkah memang bisa berbahasa Inggris karena lama bekerja sebagai anak buah kapal di kapal pesiar yang berlayar ke negara-negara asing, seperti Amerika dan Eropa.

Meski tak ada nelayan yang melaut, beberapa sibuk memperbaiki jala, menjemur ikan, dan sebagian lainnya mengawetkan ikan dengan mencelupkannya pada sekarung garam. Memandang Matahari tenggelam di Banyusangkah semakin mengasyikkan karena perahu-perahu tradisionalnya berhias dengan bendera aneka negara.

Laut dan puisi

Tak jauh dari Pantai Banyusangkah, dengan hanya lima menit perjalanan naik mobil, kami sudah tiba di Pelabuhan Telaga Biru atau juga dikenal sebagai Pelabuhan Sarimuna di Tanjungbumi.

Berbeda dengan Banyusangkah yang dihuni nelayan, pantai ini menjadi pusat perdagangan sapi antarpulau dengan pelaut ulung yang berlayar hingga berbulan-bulan.

Di Pelabuhan Telaga Biru ini juga terdapat kapal peninggalan Ulama Besar Madura Syaichona Moh Cholil. Perahu yang dibuat pada abad ke-18 itu pernah digunakan untuk menyebarkan agama Islam ke sejumlah daerah di Nusantara.

Saat ini, perahu disimpan di sebuah ruangan di tepi pantai dan bagian dalamnya sering kali dipakai untuk sembahyang warga sekitar.

Pantai-pantai lain yang tak kalah unik dan tentu saja indah adalah Pantai Lombang di Sumenep dengan hamparan pasir putihnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA Warga memandikan sapi karapan di pantai di Kecamatan Tanjungbumi, Bangkalan, Rabu (9/3/2016).
Tak jauh dari Pantai Lombang, kami menikmati sore di Pelabuhan Dungkek yang menjadi tempat pendaratan pertama pendatang dari Tiongkok. Sekadar berjalan-jalan di pasirnya sembari menghirup segar udara atau mencecap kelapa mudanya membuat hati tertaut pada Madura.

Apalagi, di tengah debur ombak itu, kami mendengarkan budayawan Madura, KH Zawawi Imron, membacakan puisi tentang Madura.

”Bila musim labuh hujan tak turun, kubasahi kau dengan denyutku. Bila dadamu kerontang, kubajak kau dengan tanduk logamku. Di atas bukit garam, kunyalakan otakku. Lantaran aku adalah sapi karapan, yang menetas dari senyum dan airmatamu. Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan dan memetik bintang-gemintang. Di ranting-ranting roh nenek moyangku, di ubun langit kuucapkan sumpah - Madura, akulah darahmu.” (MAWAR KUSUMA & ARYO WISANGGENI G)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com